Bab 17: Bukit Batu

22 3 0
                                    

Asya:

Aku baru saja selesai dengan pasien terakhirku hari itu dan bersiap untuk pulang ketika teleponku berdering. Nama Ricky muncul di layar. Hati kecilku bergetar, mengingat janji yang pernah ia ucapkan saat menjengukku di rumah sakit. Aku menjawab telepon itu dengan suara sedikit bergetar, berusaha menutupi kegugupanku.

"Halo, Asya," suara Ricky terdengar hangat di seberang sana.

"Halo, Ricky," jawabku sambil mencoba terdengar santai. "Ada apa?"

"Aku ingin tahu kapan kamu bisa cuti dari klinik. Ingat janjiku? Aku ingin mengajakmu ke Bukit Batu untuk menikmati sunset bersama," kata Ricky.

Aku terdiam sejenak. Pikiran tentang Adam dan Ricky kembali memenuhi benakku. Hubungan masa lalu dengan Ricky selalu menyisakan perasaan yang rumit, dan sekarang, dengan Adam yang selalu ada di hatiku, aku merasa bingung. Namun, aku tak ingin mengecewakan Ricky.

"Um, kapan ya... Aku belum pasti bisa cuti," jawabku dengan sedikit ragu. "Tapi aku bisa coba atur jadwal."

"Asya, kalau kamu butuh waktu lebih untuk memutuskan, aku bisa menunggu. Tapi aku benar-benar ingin menepati janjiku," kata Ricky dengan lembut.

Kata-kata Ricky membuatku merasa tertekan. Aku tidak ingin memberinya harapan palsu, namun perasaan bingung yang aku alami membuat semuanya terasa lebih sulit.

"Oke, Ricky. Aku akan coba atur cuti. Mungkin minggu depan?" kataku akhirnya, memutuskan untuk memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mengurai perasaan ini.

"Terima kasih, Asya. Aku sangat menantikan momen itu," jawab Ricky dengan suara penuh harap.

Setelah menutup telepon, aku menghela napas panjang. Perasaan campur aduk masih menggelayuti hatiku. Aku berjalan menuju parkiran untuk mengambil motor, berharap perjalanan pulang bisa memberiku waktu untuk merenung. Namun, ketika aku melihat ke arah kafe seberang klinik, mataku menangkap sosok yang begitu familiar.

Adam duduk di bangku depan kafe, bermain gitar dengan tenang. Raut wajahnya terlihat damai, dan senyumnya yang khas masih bisa kulihat meskipun dari kejauhan. Melihatnya membuat hatiku sedikit perih, rasa rindu yang tak pernah kuakui kini terasa semakin kuat. Aku berhenti sejenak, memperhatikannya sambil berharap dia menemukan kebahagiaan yang selama ini dicarinya.

"Semoga kamu bahagia, Adam," gumamku lirih, mendoakannya dalam hati. Aku tahu perasaan ini harus aku urai, dan keberadaan Adam membuatnya semakin sulit.

Dengan perasaan campur aduk, aku naik ke motor dan mulai mengendarainya pulang. Pikiran tentang Ricky dan Adam terus berputar di kepalaku, membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Saat akhirnya aku sampai di rumah, aku memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang bisa membantuku menata perasaan ini.

Malam itu, aku menelepon sahabatku, Rina. Dia selalu menjadi tempatku berbagi segala keluh kesah, dan aku yakin dia bisa memberiku nasihat yang bijak.

"Halo, Rina. Aku butuh bicara," kataku begitu telepon tersambung.

"Halo, Asya. Ada apa? Kamu terdengar gelisah," jawab Rina dengan nada penuh perhatian.

"Aku baru saja mendapat telepon dari Ricky. Dia mengajakku ke Bukit Batu untuk menikmati sunset. Tapi... aku masih bingung dengan perasaanku," kataku, mencoba menjelaskan situasi.

Rina terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku mengerti, Asya. Kamu punya perasaan yang rumit antara Ricky dan Adam. Tapi kamu harus mendengarkan hatimu. Apa yang benar-benar kamu inginkan?"

"Itulah masalahnya, Rina. Aku tidak tahu. Ricky selalu ada untukku, tapi Adam... dia juga begitu berarti bagiku," jawabku dengan suara berat.

"Kamu harus jujur pada dirimu sendiri, Asya. Jangan biarkan perasaan bingung ini menghalangi kebahagiaanmu. Cobalah ambil waktu untuk benar-benar merenung dan memahami apa yang kamu inginkan," saran Rina.

I Love My Self In Another UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang