Bab 4: Teka Teki

26 5 0
                                    

Adam duduk kembali di Cafe Merah, menunggu Asya seperti biasa setelah mereka berdua berbagi momen yang menyenangkan beberapa hari sebelumnya. Dia merasa antusias tapi juga agak gelisah. Ponsel Asya dan nama "Ricky" masih menggelitik pikirannya. Adam menarik napas dalam-dalam saat Bapak Ata, salah satu pegawai cafe, mendekatinya dengan seruling yang masih mengeluarkan asap.

"Pagi, Adam. Bagaimana kabarmu hari ini?" sapa Bapak Ata ramah sambil mengelap meja di sekitar Adam.

Adam mengangguk sambil tersenyum. "Pagi, Bapak Ata. Kabar baik, terima kasih. Bagaimana denganmu?"

"Baik-baik saja, terima kasih. Lagi santai sebentar sebelum mulai pesanan baru," jawab Bapak Ata sambil tersenyum. "Bagaimana dengan Asya? Kamu bertemu dengannya lagi kemarin, kan?"

Adam mengangguk lagi. "Iya, kami bertemu lagi. Kami punya waktu yang menyenangkan bersama."

Bapak Ata mengangguk paham. "Bagus, bagus. Tapi nampaknya ada sesuatu yang mengganggumu, Adam. Apa yang kamu pikirkan?"

Adam menghela napas. Dia tidak terbiasa membicarakan masalah pribadinya, tetapi ada sesuatu tentang Bapak Ata yang membuatnya merasa nyaman untuk berbagi. "Ini tentang Asya, Bapak Ata. Aku tidak yakin bagaimana harus bersikap padanya. Kami sangat dekat sebagai teman, tapi ada hal-hal yang membuatku ragu."

Bapak Ata mengangguk bijaksana. "Cinta, Adam. Cinta adalah sesuatu yang paling rumit di dunia ini. Bagaimana dengan Asya yang membuatmu ragu?"

Adam memandang keluar jendela sebentar sebelum menjawab. "Dia punya teman lama, Ricky. Dia sering kontak dengan Asya, dan itu membuatku merasa agak tidak nyaman meski aku hanya temannya. Aku tidak tahu apa yang seharusnya kuperbuat."

Bapak Ata mengangguk, seolah mengingat-ingat. "Mmm, wanita memang seperti teka-teki, Adam. Tidak ada yang pasti, semuanya bisa berubah. Tapi kamu harus ingat, cinta itu memang seperti air di gelas. Bisa kosong, bisa penuh, tapi tergantung bagaimana kamu memperlakukannya."

Adam mengangguk perlahan, merenungkan kata-kata Bapak Ata. "Apa yang harus aku lakukan, Bapak Ata?"

Bapak Ata tersenyum sambil menyeka tangan lembabnya di serokan. "Ada ungkapan lama yang kukira bisa membantumu, Adam. 'Jika kamu mencintai seseorang, lepaskan dia. Jika dia kembali padamu, dia adalah milikmu. Jika tidak, maka dia tidak pernah menjadi milikmu.'"

Adam termenung sejenak. "Jadi, aku harus memberikan waktu pada Asya, ya?"

Bapak Ata mengangguk. "Tepat sekali, Adam. Biarkan waktu menjawab semua pertanyaanmu. Kita tidak bisa memaksa hati seseorang untuk merasa sesuai dengan keinginan kita."

Adam tersenyum mengerti. "Terima kasih, Bapak Ata. Kata-katamu memberiku sedikit ketenangan."

Bapak Ata mengangguk ramah. "Semua akan baik-baik saja, Adam. Percayalah pada waktu dan pada hatimu sendiri."

Percakapan itu memberi Adam sedikit kelegaan. Dia menyadari bahwa dia harus memberikan ruang pada Asya dan membiarkan hubungan mereka berkembang dengan cara yang alami. Meskipun masih ada keraguan di hatinya, dia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Beberapa saat kemudian, Asya tiba dengan senyum hangat seperti biasa. Mereka duduk bersama dan kembali menikmati suasana hangat Cafe Merah. Adam memilih untuk tidak memikirkan tentang "Ricky" atau apa pun yang mungkin menjadi hambatan di antara mereka. Dia hanya ingin menikmati setiap momen bersama Asya tanpa beban.

Hari berlalu dengan cepat di Cafe Merah, di mana Adam dan Asya sering bertemu setelah pekerjaan mereka. Mereka mulai mengenal satu sama lain dengan lebih baik, mengeksplorasi minat dan impian masing-masing, dan Adam mulai merasa semakin nyaman dengan kehadiran Asya dalam hidupnya.

I Love My Self In Another UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang