01. Prolog; We're Back.

8.6K 561 66
                                    

Suara sirine pada malam itu terus berbunyi tanpa henti, begitu pula dengan para wartawan yang terus berusaha mendekat untuk mengambil berita. Di tengah suara bising yang terus memicu keramaian itu, terdapat dua orang polisi yang sedang mengunci borgol pada kedua pergelangan tangan seorang pemuda. Lengannya dengan mudah terkunci karena pemuda itu tak memberontak sedikit pun.

"Tolong berikan keterangan!"
"Kami butuh pernyataan jelas dari pelaku!"
"Perlakuan keji seperti ini butuh hukuman berat! Hukum dia seberat-beratnya!"

Beberapa wartawan terus mendesaknya, membuat polisi yang menjaganya sedikit kewalahan. "Masuk!" perintah sang polisi seraya mendorongnya cukup kuat untuk masuk ke dalam mobil. Pemuda tersebut masuk tanpa paksaan seraya sedikit terkekeh, merasa tak bersalah.

Pintu mobil tersebut telah tertutup, membuat mobil mulai melaju dengan cepat membawa pemuda itu pergi. Sesampainya mereka di kantor polisi, salah satu polisi mendorong pemuda itu untuk masuk dan duduk di dalam sebuah ruangan khusus. Saat tengah menunggu untuk diinterogasi oleh pihak yang memiliki wewenang, laki-laki itu terus tersenyum—menyeringai.

"Kamu lagi, putra sulung Bapak Wibisana," ucap Inspektur Polisi seraya memijit pelipisnya pelan.

Pemuda itu terkekeh kala kedua borgol tersebut dilepaskan dari kedua tangannya oleh polisi lainnya. Perlahan mengusap pergelangan tangannya, kini ia dengan angkuh meletakkan kedua kakinya tepat di atas meja. Nampaknya pemuda itu benar-benar sudah tak memiliki sopan santun terhadap pria paruh baya di hadapannya.

"Lama gak ketemu ya, Pak?" tanyanya dengan nada yang terdengar sangat menyebalkan. Namun, polisi tersebut tidak dapat marah maupun melawan karena beliau tak ingin terseret ke dalam suatu masalah jika berurusan dengan keluarga Wibisana.

Sementara itu, di tempat lain yang cukup jauh, tepatnya di Negeri Bunga Sakura, seorang gadis mungil menerima sebuah telepon penting. Ia berdecak pelan mendengar permintaan dari seseorang di seberang sana. "Bisa gak sih sekali aja gak bikin gue susah?!" gerutunya seraya mencengkram kuat ponsel yang ia genggam.

"C'mon, Flo. Cuma lo yang bisa bantu gue keluar dari tempat ini. Lo tega kembaran sekaligus kakak lo yang ganteng ini di penjara?"

"Bajingan. Lo tuh emang cocok di tempat itu," ucap Florisha penuh penekanan. Namun, mau bagaimana pun, ia tak dapat membiarkan hal itu terjadi mengingat sebentar lagi serangkaian kegiatan perkuliahan akan segera dimulai. Gadis mungil itu melanjutkan kalimatnya, "argh, yaudah! Nanti gue bantu keluar dari sana!" Sambungan telepon terputus, kini Florisha sedikit mengacak rambutnya frustasi. "Bego."

Dari kejauhan, gadis yang lebih tinggi datang dan segera melingkarkan tangannya pada tubuh gadis mungil itu. "Kenapa, sayang? Ada apa, hm? Kok ... kamu kaya marah gitu?"

Florisha menghembuskan napasnya kasar kemudian memutar tubuhnya untuk memeluk Freyana erat. Ia meletakkan dagunya tepat pada pundak gadis yang lebih tinggi. "Kembaran aku berulah lagi, Fre. Aku kira, dia bakal berubah. Nyatanya ngga."

Freya mengelus surai hitam panjang itu, tak lupa mengecup puncak kepala gadis mungilnya. "Dia gak berubah, ya? Sejak malam perkemahan itu?"

Florisha mengangguk cepat. "Aku takut Papa bakal biarin dia bebas untuk yang kesekian kalinya. Aku ... khawatir sama korbannya kelak, Fre. Untuk dia, itu sementara. Tapi, untuk korbannya? Bisa aja selamanya, 'kan?" Florisha sedikit melepas pelukannya untuk menatap lekat netra Freya.

Freya membalas tatapan khawatir Florisha dengan tatapan teduhnya. Gadis itu menghela napas kemudian mengusap perlahan pipi Florisha. Memberi kecupan kilas yang lembut, kini Freya tersenyum tipis. "Kita fokus sama studi kita di sini aja, ya? Gak mungkin kita balik ke Jakarta. Biarin aja Papa dan Mama kamu yang urus ini semua, Flo. Gak usah khawatir."

Obsessed 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang