16. Disappointed

2.7K 308 56
                                    

Johendra duduk dengan tenang di lobby gedung tempat di mana perusahaan Daniel berada. Dengan secangkir kopi yang ia genggam, ia tetap berusaha tenang walaupun isi kepalanya kini sangat berbanding terbalik. Pria paruh baya itu tidak sendirian, melainkan ada Sean di sampingnya.

Aroma segelas kopi panas memang berhasil untuk menenangkannya, tetapi tetap saja perasaannya terasa tak nyaman. Matanya yang terus melirik ke kanan-kiri bak orang panik, membuat Sean terkekeh pelan melihatnya. Sean menggelengkan kepalanya pelan kemudian angkat bicara. "Tenang, Hendra."

"Kamu mudah mengatakannya, Sean. Tetapi, ini tidak mudah untuk Saya," balasnya tanpa menatap lawan bicaranya. Entah sudah berapa kali Johendra menghembuskan napasnya kasar karena Daniel yang telah dipanggil sejak tadi, tak kunjung datang untuk menemui dirinya. Johendra berdecak pelan, tangannya kembali meletakkan cangkir ke atas meja.

"Satu jam. Apa Daniel memang sengaja membuat Saya gelisah? Sial."

Pria paruh baya itu bangkit, membuat kolega sekaligus adik iparnya ikut berdiri. "Apa yang ingin kamu lakukan? Tunggu saja sebentar lagi," pinta Sean. Namun, bukannya mendengarkan, Johendra malah melangkahkan kakinya dengan langkah lebar, berniat mendatangi langsung ruangan milik Daniel. "Hendra! Hey! Astaga."

BRAK! Johendra membuka pintu ruang kerja milik Daniel begitu kasar. Pria berkacamata itu sudah mengetahui bahwa kolega sekaligus kakak iparnya itu tidak akan bisa sabar menunggu. Daniel benar atas tebakannya usai mendengar derap langkah kaki yang begitu ramai di luar ruangannya. Ia tahu pasti bahwa kakak iparnya juga akan ikut terlibat di dalamnya.

"M-maaf, Pak Daniel! Kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk melarang mereka masuk," tutur Sekretaris beserta dua satpam yang sedikit kesulitan menahan lengan Johendra. Wanita serta kedua satpam itu sedikit menundukkan tubuhnya kepada Daniel, merasa bersalah.

Daniel tersenyum simpul. "That's okay, mereka memang tidak suka menghabiskan waktu mereka. Waktu adalah uang, bukan begitu, Kak Hendra? Kak Sean?" ucapnya sarkas. Setelahnya, Daniel mempersilakan sang Sekretaris untuk meninggalkan ruangan, menyisakan ia bertiga dengan Johendra dan juga Sean.

Daniel melepas kacamatanya sejenak karena matanya mulai lelah, memijit pangkal hidungnya, kemudian kembali menggunakannya. "Silakan duduk," perintahnya baik-baik. Jika pundak Johendra tidak ditahan oleh Sean, mungkin detik ini juga pria itu telah melayangkan pukulan tepat pada wajah Daniel.

Johendra menghembuskan napasnya kasar. "Apa maksud kamu, Daniel? Anggota Dewan? Apa sekarang kamu bekerjasama dengan Edwin? Kamu tau 'kan kalau Dia adalah musuh bebuyutan kita?!" gertak Johendra dengan nada rendah tanpa basa-basi. Pria itu menyisir rambut dengan jemarinya karena frustasi. "Kenapa sekarang kamu malah bekerjasama dengannya? Kamu tahu bahwa itu berbahaya untuk kita, bukan?!"

"Berbahaya untuk "kita"? Atau ... bahaya untuk "kamu", Kak Hendra?" tanya Daniel yang sedikit memiringkan kepalanya. Pria itu menyunggingkan senyum miringnya secara perlahan, membuat Johendra merasa terintimidasi.

Pria yang lebih tua tertegun, degup jantungnya terasa seperti berhenti dalam sepersekian detik. Isi kepalanya mendadak kosong, bahkan tatapannya pun ikut kosong. Tubuhnya membeku, tak percaya atas apa yang baru saja Daniel lontarkan. "A-apa maksudmu, Daniel?" Johendra menatap Daniel dengan mata yang memerah dan membulat sempurna.

Daniel tertawa renyah kemudian menghela napasnya. Pria itu menatap tajam Johendra. "Johendra Adhyaksa. Jangan merasa jadi orang yang paling tersakiti. Cukup, Saya muak."

Johendra bangkit dari duduknya dan segera menghampiri Daniel. Pria itu mencengkeram kerah kemeja dan jas yang Daniel kenakan. "Kamu berani berkhianat?!" teriaknya kencang. Sejak tadi Johendra telah berusaha menahannya dengan memaksakan dirinya sendiri untuk tenang. Namun, Daniel dengan mudahnya membuat ia kembali naik pitam.

Obsessed 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang