Fadel berjalan dengan langkah gontai memasuki rumahnya. Baru saja sampai, sang Ibu segera menghampiri dan menangkup wajah anak semata wayangnya penuh kasih sayang. "Astaga anak cantik Bunda abis darimana, sih? Kok baru pulang jam segini, hm?"
Fadel tersenyum kikuk. "Aku abis ... ketemu Kathrina, Hazel, sama Clara, Bun," jawabnya jujur diselingi dengan kekehan walaupun sempat berpikir sejenak di awal kalimat. "Yaudah, aku naik dulu, Bun." Baru berjalan beberapa langkah, sang Ibu kembali memanggil dirinya.
"Fadel."
Langkah Fadel kembali terhenti, gadis tomboy itu memutar tubuhnya dan menatap sang Ibu dengan kedua alis yang terangkat serta senyum tipis yang masih terukir sejak tadi. "Ya?"
"Bunda ... boleh minta sesuatu?" Wanita paruh baya itu menghampiri Fadel dan memeluknya cukup erat. "Untuk sementara waktu, Bunda pinta kamu untuk gak berhubungan dulu sama Kathrina, Hazel, dan juga Clara. Bisa, ya?"
"Hm?" Fadel melepas pelukan sang Ibu secara perlahan. "Ada apa, Bunda? Kenapa aku dilarang untuk ketemu atau main sama mereka?"
Wanita itu menggeleng lemah. "Kalau kelak terjadi sesuatu di antara kamu, Bunda, atau bahkan Ayah, kamu selalu ada di pihak kita 'kan, Sayang?"
Fadel terdiam membisu. Kalimat yang diucapkan oleh sang Ibu terdengar sama persis dengan apa yang Kathrina ucapkan sebelumnya. Ada apa ini? Apakah semuanya saling berhubungan? Namun, tak ingin membuat sang Ibu curiga, gadis tomboy itu segera menganggukkan kepalanya cepat.
"I-iya, Bunda. Pasti aku ada di pihak kalian."
•
•
•Fadel menutup pintu kamarnya dan melempar tas punggungnya tepat ke atas meja belajarnya. Gadis itu menghempaskan tubuhnya tepat di atas kasur kemudian kembali termenung, memikirkan atas apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tetapi, kala kepalanya mulai pusing, gadis itu segera mengambil ponselnya yang tadi ia letakkan di atas nakas.
Layar ponsel menyala cukup terang, namun anehnya tidak ada pesan satu pun dari sang Pacar. Kening Fadel sedikit mengernyit menatap benda pipih yang tengah ia genggam. "Tumben," gumamnya bermonolog. Tanpa berpikir lebih panjang, Fadel membuka ruang obrolannya dengan Misya kemudian menekan tombol berbentuk telepon.
Ponsel terus berdering, menunggu gadis di seberang sana untuk mengangkat panggilan darinya. Satu, dua, bahkan ini merupakan kali keempat Fadel mencoba melakukan panggilan. "Aneh. Kok gak diangkat?" Fadel terdiam sejenak, lalu mencoba sekali lagi, menghubungi Misya.
"Halo?"
Mendengar suara sang Pacar berhasil membuat senyum Fadel segera mengembang. "Syaaa? Kamu kemana aja? Kok gak kasih aku kabar, hm? Kamu gak kangen aku emangnya?"
Terdengar suara kekehan pelan dari seberang sana, membuat Fadel merasa lega mendengarnya. "Misyana, kamu gak apa-apa, 'kan?"
"Aku gapapa, kok! Tumben khawatir, kamu kangen ya sama aku?"
Fadel berdeham pelan. "Iya, Sya. Aku kangen kamu. Padahal kemarin baru aja ketemu di kampus."
"Alay. Padahal dulu kamu selalu suruh aku berhenti kejar kamu, sekarang malah kamu yang gak bisa jauh dari aku. Lucuuu!" sindir Misya karena gemas dari seberang sambungan telepon itu. Fadel yang mulanya merasa semuanya baik-baik saja, perlahan merasa ada sesuatu yang janggal kala tak sengaja mendengar suara Misya yang sedikit parau.
"Sya? Kamu lagi sakit?"
"Hm? Ngga."
"Kamu abis nangis? Mau cerita?"
"Eng ... ngga, Refadela," elaknya lagi.
"Aku sayang sama kamu, Misya. Kalo ada apa-apa, aku pasti mau denger cerita kamu. Aku gak akan nge-judge atau apapun itu. Jangan takut untuk cerita sama aku," jelas Fadel panjang. Fadel khawatir, takut terjadi sesuatu kepada sang Pacar. Ia hanya ingin menjadi orang pertama yang dapat Misya hubungi pada situasi apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsessed 2
Fanfiction"I'm afraid ... let me end my life, Git!" -Kathrina. "Let me burn this world then, Kath." -Gita. Menjadi sekelompok mahasiswi baru yang datang dari sebuah Sekolah Menengah Atas ternama, bukanlah hal yang mudah karena kemampuan mereka akan sangat dip...