05. Bitter-Sweet

3.7K 335 51
                                    

Gadis bermata bulat itu baru saja sampai di rumah pada pukul sembilan malam. Membuka pintu secara perlahan, ia berharap penuh agar tak ada yang menunggunya untuk pulang. Ruang tamu sudah gelap, gadis itu menghela napasnya lega. Baru saja kembali melangkah seusai menutup pintu, tiba-tiba lampu gantung yang terdapat di ruang tamu itu menyala amat terang.

Wanita paruh baya dengan wajah tegas memberikannya tatapan tajam. Beliau melipat kedua tangan di depan dadanya seraya tersenyum miring. "Gak kamu, gak mama kamu, sama-sama jalang, ya? Sukanya pulang malem."

Wanita itu melangkah maju, menyisakan sedikit jarak dengan gadis di hadapannya. Melirik dari atas, ke bawah, lalu ke atas lagi, wanita itu menggunakan telunjuknya untuk mengangkat wajah gadis di hadapannya sedikit kasar. "Abis darimana aja? Gak liat ini jam berapa? Mau jadi apa pulang malem begini? Mau jadi kaya mama kamu?!"

"M-maaf, Ma. Tapi, aku pulang malem karena abis ngerjain tugas," jawabnya sedikit terbata. Hatinya kembali sakit kala mendengar kalimat yang wanita itu lontarkan. "Clara beneran abis ngerjain tugas sama temen."

"Halah! Anak ilmu komunikasi emang tugasnya sesusah apa, sih? Paling cuma disuruh baca teori. Gak kaya anak Fakultas Kedokteran, 'kan?"

Clara mengeraskan rahangnya, kedua tangannya terkepal kuat. Jujur saja, ia muak. Tetapi, apa yang dapat ia lakukan? Melawan? Itu mustahil. "Maaf karena gak pernah bisa jadi apa yang Mama inginkan. Maaf karena aku lahir dan buat hidup Mama berantakan."

"Oh? Jadi, kamu udah sadar kalau kesalahan terbesar kamu selama ini adalah lahir ke dunia ini? Bagus deh."

CKLEK! Pintu terbuka, Hazel dengan wajah manisnya tersenyum riang. Namun, senyumnya memudar kala melihat sang ibu dan sang adik tengah berdiri berhadapan bak orang bertengkar. "Ada apa ini?" heran Hazel. Baru saja gadis itu menyentuh bahu Clara, gadis bermata bulat itu segera melenggang pergi begitu saja.

"Clara!" panggil Hazel. Gadis itu kini menatap sang ibu tajam. Bak sudah mengenal tabiat buruknya, Hazel sedikit membentak wanita di hadapannya. "Mama bilang apalagi ke Clara? Mama apain Adik aku?!" Hazel berdecak pelan lalu berlari mengejar Clara. Baru saja ingin masuk, tiba-tiba pintu kamar Clara terkunci dari dalam. "RA!" gadis berambut pendek itu beberapa kali mengetuk pintu tersebut, berharap sang adik akan membukakan pintu untuknya.

"Claraaa." Hazel terus memanggilnya berkali-kali hingga akhirnya ia menyerah kala menatap nanar layar ponsel. Clara mengirimkan pesan kepadanya bahwa gadis itu baik-baik saja.

Clara.
"Aku gapapa."
"Aku mau istirahat."
"Let me rest well, Hazel."

Hazel tahu betul bahwa Clara pasti sedang tidak baik-baik saja. Terlebih, sebelumnya Clara telah mengirimkan sebuah pesan di mana ia ingin menceritakan sesuatu. Hazel memijit pelipisnya pelan. Sang ibu pasti mengatakan hal yang tidak pantas kepada Clara. "Ra, kalo butuh aku, aku ada di kamar, okay?"

Gadis berambut pendek itu khawatir, tetapi saat ini tugasnya juga tak kalah penting. Baru beberapa hari memasuki kuliah saja, tugasnya sudah menumpuk amat banyak. Ia melenggang pergi dengan perasaan khawatir. Clara memang penting, tetapi dirinya juga tak kalah penting. Ia tak ingin gagal dalam hal apapun, termasuk dalam urusan perkuliahan.

Pada sisi lain, Clara meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian merebahkan tubuhnya sembari menarik selimut tebal yang telah menutupi tubuhnya dengan sempurna. Gadis itu mulai meringkuk dan terisak. Sesekali ia menggigit jari telunjuknya kuat agar tangisnya tak terdengar oleh siapa pun.

Ia lelah. Ia muak. 19 tahun terlalu lama baginya untuk hidup. Sampai kapan ia dapat bertahan di dalam neraka tak berujung ini? Ia hanya ingin disayang oleh kedua orang tuanya, terlebih oleh sang ibu. Apakah sesulit itu untuk mendapatkan kasih sayang? Atau ... ia memang tak pernah berhak untuk mendapatkannya?

Obsessed 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang