Langit biru nan cerah membuatnya ingin terus memandangnya. Gadis yang sedari tadi bersandar pada kursi taman itu mengangkat tangan kanannya tinggi, menatapnya dengan senyum tipis. Entah sudah berapa menit ia menatap tangannya, seperti ingin menggapai buntalan awan di angkasa.
Senyumnya yang terus merekah, membuat wajahnya tampak bersinar memancarkan aura positif. Tapi, tak berselang lama, gadis itu menghela napasnya panjang. Ia menarik kemudian menatap telapak tangan miliknya dengan kening berkerut. Kembali terbesit rasa bersalah yang ia perbuat kepada temannya.
"Apa harus aku jelasin ya ke Rachel?"
"Jelasin apa?" celetuk gadis yang ternyata telah duduk di sebelahnya sejak beberapa menit lalu. Gadis berambut pendek itu segera terkesiap dan menegakkan posisi tubuhnya kala gadis yang namanya ia sebut, kini berada di sampingnya.
Hazel menggeleng cepat. "S-salah denger," tukasnya kemudian segera bangkit dari duduknya. Rachel pun mengerucutkan bibirnya dan ikut berdiri, mengekor Hazel yang ingin kembali masuk ke dalam gedung fakultasnya.
"Zel," panggilnya yang tak kunjung digubris. Gadis berambut pendek itu terus memanggil gadis di depannya tanpa henti. "Hazel, aku mau bicara."
Kalimat pamungkas Rachel, berhasil menghentikan langkah kaki Hazel yang sangat cepat nan lebar. Hazel memutar tubuhnya dengan wajah datarnya. Sedikit memiringkan kepalanya, alis kanannya pun kini ikut naik karena bingung bercampur penasaran akan hal apa yang akan Rachel sampaikan kepadanya.
Rachel perlahan menghadirkan senyum manisnya. "Aku mau bicara sebentar, kamu ada waktu?"
"Kenapa gak di sini aja?"
Dapat dilihat sangat ramai orang yang berlalu-lalang di sekelilingnya. Rachel mengedarkan pandangannya lalu menggeleng pelan. "Mau sekalian makan siang? Aku yang bayar."
Hazel kembali melangkah pergi karena tak tertarik dengan tawaran Rachel. Namun, gadis itu dengan cepat meraih pergelangan tangan Hazel, membuat langkah Hazel kembali terhenti.
"Hazel. Kenapa rasanya sulit banget untuk kenal kamu lebih dalam? Kenapa kamu gak pernah mau buat coba buka hati kamu untuk aku?"
Hazel menoleh, memutar tubuhnya dengan tatapannya yang tampak kosong. "Enough, Shel. Enough," lirihnya yang terdengar seperti berbisik. Semakin Hazel menolak, rasanya semakin sakit. Jujur saja, ia ingin menyatakan perasaannya kepada Rachel. Tetapi, pikiran negatifnya terus menghantui dirinya. "Jangan jatuh cinta sama aku, Rachel."
Mulai muak, kini Rachel menatap Hazel remeh. "Keras kepala. Persis kaya Mama kamu, ya?"
Tenggorokkan Hazel tercekat. Alisnya tertaut dengan mata yang membulat sempurna. Apa maksud dari ucapan gadis di hadapannya yang sangat tiba-tiba terlontar itu? Hazel mengerjapkan matanya beberapa kali. "Apa maksud kamu?"
"Nothing. Bercanda, hehe. Oh, anyway ...," Rachel menggantungkan kalimatnya. Gadis itu melangkah mendekat, mengikis jarak diantara keduanya. Ia mendekatkan bibirnya dengan daun telinga Hazel, membisikkan sesuatu. "I know you like me too, Hazel. Please, stop being denial."
Hazel berdecak pelan. "In your dream."
"Hm ... gimana ya? Di mimpiku, kamu emang suka sama aku sih."
Hazel mendengus lalu meninggalkan Rachel begitu saja. Gadis itu tersenyum tipis. Entah mengapa, lelah yang ia rasakan sejak pagi telah hilang dalam sekejap. Menatap wajah kesal Hazel, nampaknya kini sudah menjadi hal favoritnya. "Marah aja cantik, apalagi kalo jadi pacarku, ya? Senyum setiap hari. Pasti manis."
Berbeda dengan Rachel, Hazel kini tengah berada di dalam toilet, menatap pantulan dirinya pada cermin di depannya. Beberapa kali gadis itu membasuh wajahnya yang memerah karena malu. Jantungnya terus berdegup setiap kali Rachel tersenyum. Apakah ia benar-benar menyukainya? Apakah ia harus mengikuti anjuran dari Kathrina?
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsessed 2
Fanfiction"I'm afraid ... let me end my life, Git!" -Kathrina. "Let me burn this world then, Kath." -Gita. Menjadi sekelompok mahasiswi baru yang datang dari sebuah Sekolah Menengah Atas ternama, bukanlah hal yang mudah karena kemampuan mereka akan sangat dip...