Lembar 17: Cerita Mereka

28 7 0
                                    

"Apa lo pengen hidup kayak gue Key?"

Ayyara membiarkan Keyna masuk ke dalam rumah petaknya. Ayyara mempersilahkan Keyna untuk duduk di kursi sedangkan dirinya tetap berdiri.

"Key apa masalahmu saat ini sangat besar?"

Keyna mengangguk, dia tahu bahwa suasana hati Ayyara memburuk tetapi dia hanya bisa mengangguk mendengar pertanyaan Ayyara.

"Apa lo pikir masalah lo yang paling besar?"

"Masalah keluarga gue sekarang bukan masalah yang bisa gue tahan."

Kali ini Ayyara duduk di kursi seberang Keyna.

"Setidaknya lo ga harus kelaparan atau kena kekerasan Key. Setidaknya lo masih bisa lihat orang tua lo. Gue ga pernah ada niatan bandingin hidup gue sama lo, lo yang pertama bandingin hidup lo sama gue."

"Tapi mama lo sayang sama lo Ay."

"Masalah sebuah keluarga bukan cuma tentang kasih sayang Key. Kali ini bisa gue yang cerita ke lo, tentang keluarga gue?"

Keyna tidak menjawab pertanyaan itu. Dia tahu apapun jawabannya tidak ada yang berakhir baik di sana.

"Bokap gue pergi ninggalin mama sama gue waktu gue masih kecil. Mama memang sayang sama gue, tapi dunia gak gitu Key. Gue pernah masuk ke rumah sakit karena gizi buruk. Gue sama mama juga pernah ngerasain makan sehari sekali selama hampir setahun. Lo ga pernah kan Key?"

Keyna hanya bisa diam. Selama ini orang tuanya memang tidak menganggapnya tetapi dirinya tidak pernah kekurangan. Dia bisa meminta apapun selama itu bukan hal yang buruk kepada orang tuanya. Meskipun meninggalkan pesan dan tidak memiliki kesempatan untuk mengatakannya secara langsung.

"Mama mutusin buat kerja di luar negeri biar hidup kami bisa berubah Key. Pekerjaan mama gue bukan pekerjaan keren yang mungkin dulu terlintas dipikiran lo. Mama gue kerja jadi pembantu di luar negeri. Sebagai gantinya gue tinggal sama adik mama. Seharusnya gue tetap sama adik mama sampai mama balik, tapi gue mutusin buat pergi dari rumah itu."

"Kenapa?"

"Ga ada manusia yang tetap tinggal disana. Ga ada bedanya gue di sana atau engga, gue di sana ga dikasih makan dan harus nyari sendiri. Waktu gue SD gue bisa bertahan karena tetangga gantian ngasih gue makan. Ngasih makan gue udah kayak jadwal sedekah bagi mereka kalau mereka lupa gue ga makan hari itu. Adik mama gue udah ga peduli. Meskipun orang tuamu tidak peduli lo masih bisa makan makanan hangat kan Key."

"Sejak kapan lo sendirian Ay?"

Ayyara tersenyum mendengar pertanyaan Keyna. Pertanyaan itu tidak terlalu jelas untuk dijawab olehnya. Sendirian secara fisik? Merasa sendirian secara mental? Atau keduanya?

"Sejak mama gue pergi gue sendirian Key. Dan gue memutuskan jauh dari paman gue waktu gue masuk SMP. Lo tahu dari Tania kan kalau gue dapet beasiswa buat lanjutin SMP."

Keyna mengangguk, dia kira Ayyara adalah perempuan mandiri dengan jiwa kepemimpinan yang tidak ingin memberatkan keluarganya. Tetapi bahkan Ayyara tidak memiliki orang dewasa untuk bersandar baik secara emosi, fisik, dan finansial.

"Gue mati-matian cari beasiswa waktu itu karena semua uang yang dikirim mama masuk ke paman gue. Sekalinya gue ngelawan gue patah tulang."

Meskipun mengatakannya sambil tersenyum karena mengenang masa lalu, Keyna tahu bahwa itu bukan hal yang mudah untuk diceritakan.

"Lo ga pernah ka Key, dipukul pake sapu sampe sapu sama tulang kering lo patah? Lo ga pernahkan di injek sampe memar? Lo juga ga pernahkan di lempar gelas kaca sampai harus dijahit?"

Ayyara menyibakkan poninya dan memperlihatkan luka memanjang empat sentimeter di dahinya. Berbeda dengan patah tulang dan memar yang sulit untuk melihat bekasnya, Keyna bisa dengan jelas melihat bekas penganiayaan Ayyara waktu itu.

"Gue ada yang lain, tapi mustahil buat nunjukin karena ketutup sama pakaian." Lanjut Ayyara.

"Luka lo, lo yang harus tanggung dan gue ga bakal pernah tahu rasanya, gue juga gitu. Semenyedihkan apa gue cerita ke lo, lo ga bakal pernah tahu rasanya gimana. Itu karena gue itu gue, lo itu lo."

Ayyara tetap mengatakan itu meskipun Keyna yang mendengarnya saat ini sudah meneteskan air matanya.

"Sekarang lo masih pengen jadi gue?"

Keyna dengan perasaan malu dan rendah diri menggelang.

"Pulanglah Key, besok kalau gue udah mendingan gue bakal dengerin cerita lo."

"Apa sekarang lo masih ga baik-baik aja?"

Ayyara tersenyum melihat Keyna yang kelagapan.

"Waktu mama gue dateng mama ga nemuin gue di rumah paman. Jadi sekarang mama sama paman lagi berantem. Uang yang dipake sama paman gue bukan uang kecil Key, mama gue udah kerja sepuluh tahun buat biayaan gue, tapi malah dipake sama paman gue."

Keyna sadar ada yang salah di sana tetapi Ayyara mungkin tidak ingin membahasnya. Mungkin saja ekspresi Keyna dengan mudah terbaca sehingga Ayyara tidak perlu mendengar pertanyaan Keyna untuk menjawab pertanyaan dalam benak Keyna.

"Gue yang ga cerita tentang KDRT paman gue. Semakin lama masalah ini ada, semakin lama gue harus nunggu hidup damai sama mama gue."

Keyna mengangguk dan meninggalkan rumah Ayyara.

.

.

.

Keyna tidak lagi memiliki tempat tujuan. Beberapa saat yang lalu Lista mengiriminya pesan yang mengatakan bahwa orang tua Kak Aksa sudah menyelesaikan semua kepentingan Aksa dan bisa kembali. Lista berpamitan untuk kembali ke rumahnya.

Saat ini Keyna juga sedang berdiri di rumahnya.

Sebelum Keyna memegang kenop pintu, pintu itu terbuka. Keyna bisa melihat papanya menggunakan jaket untuk pergi keluar. Keyna bisa melihat wajah pria itu terlihat khawatir.

"Papa mau pergi?"

Bima melihat putrinya dan kembali mennengkan jantungnya.

"Papa mau cari Key, hari ini Pak Budi sedang cuti. Ini sudah terlalu malam dan kau belum kembali."

Pak Budi adalah sopir yang bertugas untuk mengantar dan menjemput Keyna. Keyna tidak sadar bahwa ini sudah mendekati jam malamnya. Dia kira asalkan tidak lewat tidak apa-apa. Setelah kembali dari tempat Ayyara Keyna berkeliling tanpa tujuan sampai hari sudah cukup malam untuk membuat papa yang tidak peduli dengannya merasa khawatir.

"Key dari rumah temen Key."

Bima mengangguk. Bima ikut masuk saat Keyna masuk ke dalam. Dia mengikuti setiap langkah Keyna.

"Apa ada yang mau papa bicarakan?"

Bima mengangguk tanpa menatap mata putrinya.

"Papa dan mama sudah bercerai tiga hari lalu."

Oh, mungkin itu lasan mama dengan santai membawa keluarga ke rumah ini. Itu karena papanya sudah beralih status menjadi mantan suami.

"Apa hanya itu? Keyna tidak apa-apa dengan itu. Keyna hanya cukup terkejut kalian berpisah segera setelah nenek meninggal."

Hal yang dikatakan Keyna memang benar. Bima memutuskan berpisah juga karena ibu mertuanya telah meninggal. Mendengar kalimat Keyna Bima hanya bisa menerimanya dan menggeng.

"Ada lagi." Lanjut sang papa sambil menatap sedih Keyna.

Keyna kali ini benar-benar menyiapkan hatinya. Dia tahu apa yang mungkin dikatakan papanya. Ini semua seperti kata Aksa, papanya juga sama seperti mamanya.

"Papa akan menikah dengan mantan istri papa." Bima mengatakan itu dalam sekali tarikan napas.

"Lalu bagaimana dengan Keyna?"

Place For MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang