Arson berdiri dengan punggung yang bersandar pada dinding rumah sakit. Dia berdiri menunggu di depan pintu ruang konsultasi dengan pikiran yang penuh.
Hari ini adalah jadwal Devon pergi menemui psikilog. Sudah pertemuan ketiga, dan Arson berharap kali ini ada kabar baik tentang kondisi psikis Devon.
Ketika pintu di depannya terbuka, Arson langsung menegakkan postur tubuhnya, berdiri tegak. Devon adalah yang keluar lebih dulu, membuat Arson otomatis tersenyum dan merentangkan tangannya untuk menyambut pria kecil itu ke dalam pelukan.
Rasa lega terhembus ketika melihat Devon tidak lagi menangis kali ini, berbeda dari pertemuan sebelumnya yang sangat tidak kondusif. Kali ini, Devon cenderung lebih tenang meski raut ketakutan masih terlihat jelas.
"Hari ini, Devon jadi anak pinter kan di dalem?" tanya Arson pada sosok yang dia peluk.
Devon mengangguk kecil, tidak mengeluarkan suara untuk menjawab, tapi semakin menyembunyikan wajahnya di dada Arson.
Arson menatap dokter yang tersenyum ramah. Berusaha mencari penjelasan tentang sesi hari ini.
"Kondisi Devon sudah mulai mengalami kemajuan. Meski tidak terlalu signifikan, tapi Devon sudah mulai bisa diajak berkomunikasi untuk menceritakan kejadian terkait. Jika semua lancar, dalam beberapa pertemuan lagi mungkin dia bisa lekas membaik." jelas dokter itu.
Arson mengangguk. Dalam hatinya, dia mengucap banyak-banyak syukur yang diiringi dengan rapalan doa demi kesembuhan mental orang yang tengah mengisi hatinya ini.
Tangan Arson terulur, mengusap pelan pucuk kepala Devon. "Denger gak? Lo sebentar lagi bakal sembuh"
Devon mendongak, menatap Arson dengan mata bulatnya. "Devon sembuh? Gak sakit lagi?"
Arson tersenyum mendengar pertanyaan polos itu. "Enggak akan sakit. Sakitnya, takutnya, semua udah di suruh pergi sama dokter."
Mendengar itu, Devon lekas berbalik menghadap dokter jiwa yang tadi menanganinya. Lalu dia sedikit membungkukkan kepala sebagai rasa penghormatan. "Terimakasih dokter...udah usir sakitnya dari Devon," katanya sangat tulus.
Dokter itu tidak sanggup menahan senyum gemas melihat tingkah Devon, tidak jauh berbeda dengan Arson. Sang dokter menepuk pundak Devon sekilas. "Iya, Devon juga terimakasih sudah jadi anak yang pintar selama kita bicara ya," katanya.
Devon mengangguk. "Iya" katanya sambil tersenyum.
"Baik kalau begitu saya pamit dulu," pamit Dokter itu pergi, meninggalkan Arson dan Devon yang kini berdiri berdua di depan ruang konsultasi.
Arson meraih tangan Devon untuk dia genggam, menjaga agar dia tetap berjalan di sisinya. "Karena hari ini lo udah jadi anak baik, gimana kalo kita makan es krim?" tawar Arson.
Mendengar kata 'es krim', Devon langsung spontan menoleh dengan tatapan mata berbinar. "Es krim?" tanyanya senang.
Arson terkekeh dibuatnya. "Iya, mau gak makan es krim?"
"Mau!!" serunya bersemangat. "Devonnya suka es krim"
"Iya tau kok lo suka es krim. Jadi, mau beli es krim rasa apa nih?"
"Emm...." Devon tampak diam sejenak untuk berpikir. Matanya yang bergerak ke segala arah sudah jelas mengambarkan rasa bingungnya. "Devonnya suka cokelat...tapi rasa susu juga enak"
"Rasa susu?" tanya Arson dengan alis mengernyit.
Devon mengangguk. "Iya susu, yang warna putih, rasanya enak sekali"
Arson tertawa pelan. Sejujurnya dia tidak mengerti tentang es krim rasa susu, dia bahkan tidak pernah tau kalau rasa itu ada, tapi dia tidak perduli. Menikmati setiap ekspresi Devon ketika sedang berceloteh tentu saja jauh lebih menarik bagi Arson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...