Chapter II : 2.3

154 21 8
                                    

“Mbak nggak marah, tapi... sekarang kan Aden demam. Kasih ke mbak ya kuncinya?” Deva mengangguk dan merogoh bantalnya. Ia berikan kuncinya pada Rena dan membiarkan perempuan itu membukanya.

“...Jangan marah”

“Siapa? Emang mbak Rena pernah marah?" Deva menggeleng. Di mata perempuan itu ia tampak menggemaskan saat sakit, terlihat polos seperti kertas putih tanpa noda.

"Gapapa, mbak paham kok kamu capek. Tapi ya... menyiksa diri sendiri itu nggak baik, den. Tuhan ngga suka,” Ucapnya selembut mungkin.

“Mbak, Deva udah sholat lagi... tapi kenapa masih gini? Bahkan lebih sakit?” Rena tersenyum seraya menempelkan gel penurun panas di kening Deva.

“Tau nggak, kata temen mbak yang muslim. Ketika seseorang di uji dengan sakit, itu artinya Tuhan sedang menghapus dosa-dosa umatnya...” senyum teduh yang selalu Deva suka. Baginya, ketika lukanya terasa begitu menyakitkan dan ia melihat wanita ini tersenyum maka saat itu ia akan lupa bagaimana siksaan dunia padanya.

“Terlahir di dunia ini itu dosa ya mbak? Aku sakit juga dosa?” sejurus kemudian raut wajah perempuan itu menjadi kacau. Ia bingung, juga tak paham. Mengapa anak ini bisa mempertanyakan hal semacam ini. Entahlah, mungkin karena ia sudah terlalu lelah dan marah dengan apa yang terjadi padanya.

“Mbak mau tanya, kamu percaya sama Tuhan kan?” Deva terlihat sedikit ragu, tapi sedetik kemudian ia mengangguk. Ia akui bahwa ia sempat meragukan sang pencipta, tapi itu sudah tidak lagi terjadi. Dia percaya karunia dan keajaiban sang penguasa semesta.

“Lahir dan mati itu takdir, nggak pernah sekalipun sebuah kelahiran adalah dosa. Kalau pun iya, orang yang membuat kelahiran itulah yang dosa, bukan yang dilahirkan. Paham maksud mbak?” Deva sekali lagi mengangguk. Walau ia paham, tapi entah mengapa hatinya masih terasa berat dan mengganjal.

"Deva mimpi tadi mbak, kita kumpul lagi... bahagiaku itu sederhana... tapi sulit digapai,"

Perempuan itu membisu untuk beberapa saat. Diamnya sama seperti membenarkan ucapan si pemuda, karena memang benar begitu nasibnya. "Mbak itu selalu percaya, Tuhan punya cerita indah untuk kita... mungkin bukan hari ini, mungkin juga bukan besok, tapi nanti... entah itu kapan tapi pasti ada," pemuda itu mengangguk. Pikirannya kosong, tandanya ia hanya asal mengiyakan ucapan perempuan ini.

Iya, pasti ada...
Sekalipun itu nanti setelah datangnya kematian bukan?

Malam itu setelah menemani Deva sembahyang, Rena memastikan Inhaler ada di meja dan membantu anak itu memakai alat bantu nafas. Biasanya, saat demam Deva tak akan bisa tidur karena diserang sesak yang luar biasa.

Ia pejamkan matanya yang entah kenapa terasa sedikit sakit. Ia tahu betul alasannya, matanya ingin menangis tapi hatinya tak cukup kuat untuk mengeluarkan air mata meski hanya sedikit.

Ia ingin melupakan amarahnya, sungguh dia ingin sekali.

Katanya, darah itu lebih kental dari air? Rasanya dia ingin menyangkalnya. Karena nyatanya hubungan darah dalam hidupnya hanya sebatas formalitas dari bagian skenario takdir.

Malamnya selalu sepi, hanya ditemani udara yang selalu diam tak tahu harus berkata apa. Udara malam selalu mencekik, membuat malamnya tak pernah damai meski sehari. Meski setengah sadar, ia tahu Rena sesekali datang hanya untuk memeriksa suhu tubuhnya dan mengganti gel penurun panas. Mungkin sudah diganti dua kali.

 Mungkin sudah diganti dua kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang