Chapter 1 : Wound

432 29 8
                                    

Beberapa Tahun sebelumnya,

Depok, Jawa Barat.

Pagi itu, suara burung dan ocehan manusia menjadi pengantar orang-orang beraktivitas. Sekolah, bekerja, atau hanya duduk di teras rumah menunggu tukang sayur lewat. Matahari yang begitu terik menyinari wilayah Jawa Barat itu, tak jarang orang-orang bertegur sapa ketika berpapasan. Tanpa tahu bahwa sebenarnya mereka ingin saling mengabaikan.

Tak perlu dipercantik, karena begitulah aslinya manusia. Walaupun banyak juga yang memang tulus untuk memberikan senyumannya untuk orang lain. Kata senyuman adalah bagian dari ibadah itu mungkin terdengar seperti sebuah hal indah, tapi bagaiamana jika senyuman itu hanya senyum yang dipaksakan dan jelas hanya kepalsuan?

Pagi yang cerah itu sepertinya tidak membuat suasana rumah biru langit itu menghangat. Suara teriakan yang begitu bising, dan juga memilukan. Tak ada yang menghiraukan itu, memang bukan hal aneh di perkotaan apa lagi di kawasan perumahan seperti ini.

“Kamu tu bisanya apa sih, Dev!! Cuci piring aja nggak becus! Mama nggak mau tau ini harus selesai secepatnya, temen Mama udah mau sampai!” Teriak wanita itu.

Seorang pemuda yang sudah menangis sesenggukan itu hanya bisa pasrah ketika jari-jemarinya tergores percahan piring karena tangannya terlalu gemetar. Rasa takutnya terhadap sosok Ibunya bukan rahasia besar di rumah itu. Bahkan, di sana terdapat seorang ART yang entah apa yang dia kerjakan. Mereka hanya bisa menonton meski tak tega. Mereka dibayar untuk bekerja, melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka, dan diam untuk apa yang mereka lihat dan dengar di rumah ini.

“Awas aja kalau nanti kamu bikin ulah!” perempuan itu kemudian pergi meninggalkan sang putra yang masih memungut pecahan piring di sana. Tadinya, anak itu hanya mencuci piring dan akan membawanya ke tempatnya, ternyata dia membawa terlalu banyak sampai dua atau tiga piring jatuh dan pecah. Perempuan itu, dia bahkan tak menghiraukan kaki putranya yang terkena pecahan piring dan berdarah.

“Aden, biar mbak aja den!”

“Jangan, nanti Mama marah...”

Rena. Art yang belum lama bekerja di rumah ini. Perceraian antara Dara dan suaminya baru terjadi lima tahun yang lalu. Dia bekerja di sini hampir empat tahun lamanya mungkin.

“Maaf ya, den. Mbak nggak bisa bantu Aden...” Rena selalu ingin membantu Deva. Tapi  itu tidak akan mungkin karena pernah ketika dia membantu anak malang itu, justru Dara menghukum Deva dengan keras, sangat keras sampai siapa pun yang melihatnya pasti ketakutan.

Deva tak membalas perkataan itu. Dia sendiri merasa ini memang salahnya, tapi haruskah sampai begini. Dia masih terlalu muda, usianya bahkan baru tiga belas tahun.

Anak kelas dua SMP itu sebenarnya pintar, cerdas, dan berbakat. Tapi, itu dulu. Sekarang dia hanya anak menyedihkan yang tak bisa bebas melakukan apa yang dia suka dan dia mau. Terlalu banyak aturan dan kekangan yang dibuat oleh Dara.

Berbeda nasib dengan Evan, kakak kandung Deva yang hak asuhnya jatuh ke tangan sang Ayah.

Marco, dia seorang Professional Chef yang kini sudah memiliki hotel dan restoran sendiri. Dia kerap memasak untuk orang-orang penting seperti pejabat negara atau pebisnis yang membayarnya mahal.

Rumahnya bisa dibilang mewah dengan gaya klasik. Baik Dara maupun Marco adalah orang-orang yang menyukai pekerjaan. Tak heran hasil yang mereka dapat juga tidak main-main.

Menteng, Jakarta Pusat

“Pa, kita ketemu Deva kapan? Udah tujuh bulan. Lama banget, mumpung libur sekolah”

“Sabar, Mama kamu susah banget di hubungin. Atau kamu coba deh telepon Mama kamu,” Selisih usia Deva dan Evan hanya sekitar tiga tahun. Tapi, karena Deva mulai sekolah lebih awal jadi mereka hanya berbeda dua kelas.

po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang