Chapter II : 2.7 (medical information)

241 22 16
                                    

Keramaian? Dusta. Canda? Ilusi. Tawa? Munafik. Semua hanya kebohongan!!
____________________________

.
.
.
.
.
.
.

Tiga bulan sudah, pemuda itu masih ditempat yang sama.

Langit seolah masih setia menemani kesedihan semua orang, hujan selalu turun walau tak setiap hari. Menyejukkan hati dan pikiran yang panas oleh keadaan. Hati siapa yang tak sakit melihat darah dagingnya sendiri tak berdaya. 

Gracie sedang menyeka tangan putih pucat itu dengan handuk basah ketika jemarinya bergerak menandakan bahwa mata itu akan segera terbuka.

"Masya Allah, mas... mas..." ia terlalu senang mendapati putranya membuka mata. Marco yang baru dari kamar mandi pun mendekat dan menekan emergency button. Dokter segera datang, memeriksa reaksi pupil dan fungsi alat vital pasien mereka.  

Mungkin memang benar, dibalik kebahagiaan ada penderitaan. Ketika mereka merasa begitu bersyukur, suara yang mereka nanti itu nyatanya justru begitu menyakitkan. Tatapan mata teduh itu kini menjadi tatapan penuh ketakutan.

"Akh... e...gi!! e...gi, ak... au... e...gi!!" monitor di sana berbunyi menandakan adanya bahaya. Anak itu bergerak tak karuan membuat selang Ventilator hampir lepas jika saja dokter yang menanganinya tak ada di sana.

"Deva tenang, nak. Ini Papa... lihat nak..."

"Euh... ha.... e...gi! Akhh... hah..." semuanya sangat panik ketika pemuda itu hilang kendali dan mulai kesulitan bernafas. Yang paling menyakitkan, mereka harus melihat Deva histeris tanpa bisa menggerakan tubuhnya sendiri.

"Aaaa.... o...ong.... hiks... a...kit.... aa... kit" Marco mendekap tubuh ringkih putranya itu. Memberinya ketenangan meski Deva menolak. Marco menutupi dokter yang akan memberikan obat penenang.

Remaja itu mulai tenang, matanya mengerjap menatap seisi ruangan sampai ia kembali menyelami dunia mimpi.

Lelaki itu mengusap lembut kepala anaknya. Ia teringat ketika anak itu terlahir, ketika pertama kali ia menggendong tubuh mungil itu, ketika ia mengumandangkan Adzan untuk si kecil. Betapa ia merasa begitu berdosa sekarang ini, ia tak bisa melakukan apa pun untuk putranya, darah dagingnya.

"Sabar mas, kuat ya..." kedua insan yang saling berbagi kasih dan duka itu kini hanya mampu menatap dinding kaca itu dengan sendu. Harap-harap cemas agar si kecil tak lagi tertidur dalam waktu yang lama.

"Aku merasa gagal menjadi seorang Ayah untuk Deva, dek..." sama seperti bagaimana Marco membelai Deva, Gracie mengusap bahu suaminya. Walau ia tak bisa meringankan bebannya, setidaknya dia bisa menjadi alasan bahu itu tetap tegap.

Kedepannya pasti tidak akan mudah. Tidak mudah untuk siapa pun.

Mereka harus siap, sekali lagi Tuhan akan menguji mereka. Seperti janji mereka beberapa waktu lalu, mereka harus kuat untuk Deva, mereka harus mampu menghadapi hari esok yang tak biasa, mereka tak boleh menyerah.

 Seperti janji mereka beberapa waktu lalu, mereka harus kuat untuk Deva, mereka harus mampu menghadapi hari esok yang tak biasa, mereka tak boleh menyerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang