Chapter 1 : 1.2 (revisi)

318 29 3
                                    


Ketenangan dan keindahan kota Malang tak juga membuat lelaki itu bekerja dengan suasana hati yang baik. Pikirannya ke mana-mana hingga dengan segera ia menghubungi sang penenang.

"Ya Allah Mas, baru juga sampai. Banyakin istighfar ya, semoga bukan apa-apa..."

"Iya, dek. Evan masih ngambek?"

"Udah nggak, baru mkan malam sama aku tadi. Tapi minta janji besok harus ke sana kalau Deva udah di rumah mau masih liburan apa udah masuk,"

"Huh... tu anak. Insya Allah, ya. Aku juga udah kangen banget sama Deva,"

"Ya udah mas, kamu istirahat gih. Aku juga ada kerjaan sedikit"

"Oke, Assalamu'alaikum dek"

"Wa'alaikumussalam,"

Panggilan video itu selesai begitu saja. Sebenarnya tadi pun Evan berkata perasaannya tidak enak dan mungkin perasaan itu berasal dari Deva. Tapi mau bagaimana, mereka tidak ada yang tahu di mana Deva sekarang. Apakah benar sedang liburan atau justru sedang di mana. Sudah beberapa kali Gracie meminta Marco kembali memperjuangkan hak asuh atas Deva, tapi beberapa kali juga Marco berkata bahwa Deva juga adalah anaknya Dara, ia ibunya yang juga punya hak atas anak-anaknya.





Sementara itu, disini lah Dara yang sedang menangis menyesali perbuatannya.

Kalau dikatakan kasihan, tidak juga. Karena ini adalah hal yang sering dia lakukan, berbuat, menyesal, menangis, lalu di ulang lagi.

Mungkin seseorang akan bertanya kenapa perempuan itu bisa begitu keji dengan anaknya. Entah ini seperti alasan atau lebih seperti pembelaan diri. Dara tidak ingin putranya bergantung dengan orang lain, tidak ingin anaknya lemah, tidak ingin anaknya manja. Pikirnya, dengan dibiasakan mandiri dan diperlakukan dengan tegas maka anaknya akan terbiasa. Entah sudah berapa kali pemikiran itu justru menyiksa Deva hingga ada rasa trauma dalam dirinya.


Keesokan harinya begitu pagi tiba, anak itu merasa begitu mual setiap makanan masuk dalam mulutnya, tapi Dara terus memaksanya untuk makan.

"Eneg Ma, nanti lagi ya..." melihat warna putih bubur itu saja sudah membuatnya ingin muntah.

"Makan aja apa susahnya sih Dev? Mama suapin, makan!"

"Nggak, ma..."

"Makan, Deva!!" Dara sudah menyodorkan suapan itu tapi Bukannya disambut dengan baik justru hanya galengan kepala yang Deva berikan.


Klang!!


Dara melempar sendok yang dia pegang ke mangkuk bubur itu hingga mengeluarkan suara dentingan yang cukup keras hingga membuat Deva terkejut. "Mau kamu tu apa? Cuman disuruh makan aja susah. Eneg? Namanya juga sakit, Dev! Kalau ngga dipaksa makan mau sembuh kapan kamu? Mama harus kerja! Bisa nggak sih nurut aja?"

"Aku beneran nggak bisa, Ma. Perutku udah nggak enak,"

"Ya karena belum makan, ah... terserah kamu lah! Mama ke kantor!"

Brak

Perempuan itu pergi setelah menaruh nampan makanan dengan begitu keras ke meja. Heran sekali ia pada putranya itu, kenapa sangat sulit di atur. Sementara Deva hanya bisa meremet ujung selimutnya dan menangis dengan menunduk.

po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang