Chapter II : 2.2

172 20 8
                                    

As you can see, kamu ngapain ke Depok?” Evan tak menyangka Dara akan langsung mengajukan pertanyaan itu padanya. Padahal sepertinya baru beberapa detik yang lalu Dara tampak takut melihat raut wajah Marco.

“Emm, kangen sama Deva. Kemarin belum puas,”

“Hmm, lain kali kabarin Mama!” Dara melenggang pergi begitu saja meninggalkan Evan dan menyusul masuk. Tatapannya berubah nyalang ketika melihat Marco memeluk Deva dengan begitu erat. Tatapannya tak sekalipun tertuju pada kaki kiri anaknya yang di gips. Hanya, rasa.... terancam?

“Mark!” Suara yang tak begitu besar namun terdengar tegas, membuat sang anak terkejut. Deva berusaha menormalkan nafas dan rasa takutnya. Dia tak ingin kedua orang tuanya bertengkar.

“Lepas!! Kamu nggak liat dia babak belur? Jangan sampai asmanya jadi kambuh gara-gara kamu peluk kayak gitu!” Dara membenarkan posisi Deva. Menaikkan ranjangnya agar anaknya nyaman. Hal itu tentu mengganggu Marco dan membuatnya terpaksa melepaskan pelukannya.

“Apa-apaan sih, saya cuman meluk anak saya. Apa salahnya?” Marco jelas tak mau kalah. Dia juga punya mata, dia juga bisa melihat bagian mana yang sakit dari anaknya itu.

"Ya nggak harus meluk gitu kan?!"

"Kamu--"

“Pa, udah...” Evan mengingatkan Marco agar tidak melanjutkan keributan mereka berdua. Apa mereka tidak bisa melihat, ekspresi takut dari Deva sudah menjelaskan segalanya.

Marco dengan kesal pindah ke sofa yang disediakan disana di ikuti Evan. Sesekali melirik putranya yang juga menatap cemas padanya. Rasanya begitu menyebalkan membiarkan Dara duduk di sebelah Deva, sementara Deva sendiri merasa tidak nyaman terlihat dari gelagatnya.

Malam itu Marco dan Evan terpaksa pulang, meninggalkan Deva dengan Ibunya. Marco ingin tinggal, dia tidak takut dengan ancaman Dara untuk tidak membiarkan Deva bertemu Marco. Tapi rencananya bisa runyam kalau dia membuat masalah jika bukti saja belum sepenuhnya dia dapat.

Untuk saat ini dia hanya bisa pasrah dan menunggu sampai apa yang dia persiapkan sudah matang. Evan menatap Marco, Papanya itu terlihat banyak pikiran. Ya, dia juga paham pasti Marco khawatir dan tidak tenang meninggalkan Deva.

Dari apa yang dia dengar, kemungkinan besar Dara selama ini main tangan dengan adiknya itu. Dia juga khawatir, tapi bisa apa dia yang hanya remaja ini ketika para orang dewasa memaksanya diam.

Segala hal itu, kalau tidak dibicarakan tidak akan baik kan? Tapi terkadang, sesuatu lebih baik tetap di pendam meski diri sendiri yang terluka.

Untuk apa? Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.

"Saya heran sama kamu, bisa nggak sih nggak buat masalah?"

"Maaf, ma..."

"Lagian kenapa juga Evan harus ke sini? Kamu yang minta dia ke sini?!" Deva menatap sendu sang Ibu yang tengah mengupas apel untuk dirinya sendiri. Entah kenapa dia sedikit menyesal memutuskan membiarkan Papa dan Abangnya pulang.

Biarkanlah hari itu berakhir sebentar, sebelum segala hal menjadi kacau dan runtuh. Biarkan waktu melahap habis kenangan tanpa tawa itu. Karena Arunika¹ tak akan pernah meninggalkan Gaia², selain karena Miorai³ dan menuju pada sang Amirta⁴.

Meski tak ada alasan bagi manusia untuk menentang maut, tapi mereka punya alasan untuk melepas kehidupan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang