Chapter I : 1.9 (Leave Me)

174 17 3
                                    

.
.
.
(Mayan garing, ya namanya demi pengembangan karakter ndoro, kalau aneh tolong bilang biar saya revisi!!)
.
.
.

Deru kendaraan roda empat itu menerobos macetnya kota Jakarta. Papan bertuliskan Jawa Barat yang artinya ia telah melewati perbatasan. Sebenarnya, ia selalu ingin kemari tapi ia masih cukup waras untuk tidak menyulut emosi Ibunya sendiri.

Kabar yang Omanya berikan cukup mengejutkan untuk ia dengar. Terlalu terkejut sampai rasanya takut untuk mengabari Ayahnya.

"Hallo, sayang? Lancar kan?"

"Iya," pemuda itu mencium punggung tangan wanita tua di depannya sebagai rasa hormat pada yang lebih tua. "Deva udah makan siang?"

"Belum, nak. Tadi pagi aja itu udah Alhamdulillah banget mau makan dikit," Evan mengangguk kemudian mengajak Omanya masuk dan menemani Adiknya.

Pemandangan yang pertama kali dia lihat saat masuk dalam kamar itu adalah Deva yang duduk di balkon, tatapannya kosong. Ia tatap Omanya, melihat wanita itu mengangguk ia pun masuk dan mendekati Deva. Hanya sebuah sentuhan kecil di pundak itu membuat keduanya terkejut. Deva yang bereaksi takut, dan Evan yang terkejut dengan reaksi adiknya.

"Hey Hey Hey, It's me!" Ucapnya saat Deva tak mau menatapnya dan justru mendekat ke pagar balkon. "Evan, ini gue Evan! Look at me!" Deva menatap ragu. Ia hamburkan tubuhnya pada sang kakak begitu ia yakin,

Evan datang... kakaknya datang.

"Ssst, kenapa nangis?" Deva menggeleng. Dia tidak mau Evan tahu, dia menjijikan sekarang. Dia jauhkan dirinya dari Evan. "Hey, Dev? Kenapa menjauh lagi?" Evan raih tangan adiknya yang terus memberikan penolakan.

"Go, leave me! I look bad..." tak hanya Evan, bahkan dirinya sendiri juga bingung kenapa tubuhnya dan pikirannya bereaksi seperti ini. Apakah mungkin karena tadi dia teringat dengan kejadian 'itu'?

"What?! Ngomong apa sih? Liat, you're fine Dev. Look at me, Tolong jangan takut... I'm your brother, right?" Deva menatap Evan dan mengangguk. Dia tidak lagi bersikeras menjauhkan dirinya dari Evan. Dia biarkan Evan memeluknya, mengusap kepalanya meski rasanya sedikit bergidik ketika punggungnya di sentuh. Bukan Rena, tapi ini Evan jadi tidak apa-apa seharusnya. "Mau keluar sama Abang? Kita jalan-jalan ya?" Deva terdiam.

"Is that okay?"

"Iya, pergi aja nak. Nanti Oma yang bilang ke Mamamu," Deva menoleh. Dia tidak tahu jika Lia di sana sejak tadi. Dia kembali menunduk, kemudian menatap Evan cukup lama baru setelah itu mengangguk.

Mereka pergi ke taman, memandangi apa saja yang ada di sana. Menurut keduanya, usia mereka sudah bukan saat di mana mereka menginginkan permainan seperti ini. Mereka cukup puas melihat anak-anak yang bermain. Ada yang masih lengkap dengan seragamnya, ada pula yang hanya memakai kaos dalam dan celana pendek.

Masa di mana semua hal tak perlu mereka pikir. Masa di mana rasa lapar adalah krisis terbesar bagi mereka, atau kehilangan mainan kesayangan yang harganya tak seberapa.

"Jadi... mau cerita?"

Deva menatap kakaknya, ada rasa khawatir. Dia terdiam, menatap langit yang perlahan mendung. Mungkin sebentar lagi waktunya anak-anak seusinya meninggalkan sekolah.

Dia tersenyum dan kemudian menatap Evan yang juga tersenyum padanya. Senyum yang kakaknya berikan itu seolah melunturkan segala rasa sakit yang ia terima belakangan ini.

"I'm fine, you're here. Jadi gue gapapa"

"Serius?" Deva mengangguk dengan yakin. Membuat Evan semakin meragukan keyakinan itu. Dia tahu ada yang tidak beres, tapi bisa apa dia jika seseorang yang adalah korban hanya diam saja. "Tapi dari yang gue liat itu cuma kebohongan, Dev..."

po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang