Chapter II : 2.9

233 22 4
                                    

Pagi ini, suasana begitu ricuh... Orang-orang begitu ribut ke sana kemari. Berusaha menyelamatkan nyawa yang ingin direnggut paksa sebab pemiliknya yang gila.

Coba kutanya, berapa lama kalian bisa menahan nafas? Manusia rata-rata bisa menahan nafas 30-90 detik, lalu bagaimana jika selama itu seorang penderita Asma menolak memasukan oksigen dalam rongga dadanya?

Pucat, tangannya dingin dan berkeringat. Matanya bergerak tak tentu arah mencari sesuatu untuk dipandang, kesadaran yang tengah di awang-awang siap untung lenyap dalam sedetik yang entah kapan.

"KAMU GILA?!" suara nafas yang terengah-engah dan suara mesin saling bersautan. Air matanya jatuh ketika menatap orang-orang yang tampak kecewa dan marah, juga sedih.

"Kenapa kamu begini Deva?!"

Pagi itu, ketika orang-orang masih sibuk setelah melakukan sembahyang dan ingin melihat pangeran kecil mereka... Bukan lagi tatapan kosong dan keheningan yang mereka lihat, melainkan sosok yang tengah menahan nafasnya sendiri. Para perawat yang memang tinggal di paviliun kecil di rumah itu berdatangan hingga dr. Nirma yang tengah dalam perjalanan harus menancap gas.

Nirma selalu datang pagi buta, sekitar jam 5 mungkin, karena anak yang ia rawat itu selalu tidur jam 2 dan bangun saat waktu subuh. Apa lagi semalam anak itu demam tinggi hingga harus memakai masker sungkup dan diberi infus. Dan lagi, dia juga harus visit ke tempatnya berdinas.

"Mikir apa sih kamu, Dev?! ...kenapa sampai mau mendahului takdir? Dosa, nak!" Marco. Rasanya ingin ia tampar anaknya itu agar sadar.

Berisik. Kepalanya berisik, dia ingin menutup telinganya tapi apa? Menggerakan jari saja mustahil. "Kamu tega ninggalin Ayah, Dev?"

Evan hanya bisa menatap adiknya dengan pandangan marah. Dia tahu Deva lelah, tapi bukan begini caranya.

Ah, bagaimana jika mereka tahu anak itu sudah berkali-kali ingin melakukan percobaan bunuh diri dulu?

Gracie menutup telinga Deva ketika melihat guratan frustasi di wajah mungil nan tirus itu. "Ssttt, gapapa sayang... Nangis nak, nangis jangan di tahan..."

Marco mengerjap. Sadar dengan suaranya yang sempat meninggi dan sentakan pada putranya. Ia usap wajahnya dengan kasar kemudian bersimpuh di sebelah ranjang sang anak, menggenggam tangan yang tak bertenaga itu.

"Maaf nak, maaf..."

Mata anak itu mengerling, kemudian menatap sang Ayah. Bisa ia rasakan betapa sakit hati pria itu hanya dari kepala yang menunduk karena tengah mencium punggung tangannya sambil terus menggumamkan kata maaf.

"B-biarin... Aku... Mati!!"

"Nggak!!!" Kali ini Evan berani bersuara. Dia mendekat setelah sekian lama hanya diam mematung di dekat pintu, tak berani mendekat karena tak mampu melihat keadaan sang adik tercinta. "Lo mau mati? Ninggalin kita semua yang sayang sama lo? Lo bodoh apa tolol, dek? Kita semua nunggu lo buat bangun berbulan-bulan, stop mikirin wanita sialan itu... Ada gue... Ada Ayah ada Bunda!"

Deva terisak, tangan Gracie yang tadi menutup telinganya sudah lama terlepas, karena wanita itu tengah mendekap tubuhnya.

"Tolong... Tolong jangan pergi... Gue nggak sanggup tanpa lo, dek!" Ketiga orang yang lebih tua itu hanya mampu menangis mendekap tubuh ringkih itu. Sementara yang lain hanya menatap iba, ingin membantu tapi sadar mereka tak memiliki kemampuan semacam itu.

Isak tangis yang anak itu tahan akhinya lepas. Ia ingin memeluk ketiga orang yang tengah menangisi dirinya.

Kemarin, setelah Ryan bertanya apakah mati bisa menyelesaikan masalah dia berpikir bahwa itu memang benar sebelum akhirnya ia pingsan dan tak mendapat jawaban lain dari pertanyaannya sendiri. Mati akan membuatnya lepas dari penderitaan mengerikan ini, mati akan membuatnya sembuh, mati akan membuat kecacatannya sirna.

Lantas kenapa?

Kenapa semua orang menahannya di dunia yang menyesakkan ini?

Apa mereka tak tahu seberapa keras dia mencoba bertahan sampai akhirnya semua itu lebur ketika mendengar sebuah penyesalan atas kelahirannya dari mulut wanita yang mengandungnya.

Rasanya dunia miliknya sudah hancur tak berbentuk, lalu untuk apa dia mempertahanakan kehidupan ini?

"Deva... Tolong jangan seperti ini... Bilang sama Ayah, kita harus apa? Kita semua sayang kamu... Kita nggak mau kehilangan kamu... jalani dengan ikhlas sayang... ayo sama-sama berjuang, kamu nggak sandiri nak" Tangan kekar itu mengusap air mata si bungsu.

"Bilang nak, harus dengan cara apa kita membujuk kamu untuk mau bertahan?"

Pertanyaan itu mengambang. Karena yang ditanya pun enggan menjawab, membiarkan isak tangis memenuhi kamar yang lebih mirip ruangan di rumah sakit. Bukan tak ingin... Tapi dia juga tak tahu harus berkata apa.

Alasan... Dia sudah tak memiliki alasan untuk tetap hidup... memikirkan bertahan untuk keluarga pun buat apa, dia seperti ini dan hanya akan merepotkan.

Setiap hari, tidurnya tak pernah nyenyak, tubuhnya tak pernah sehat, pikirannya tak mau tenang. Mereka semua tahu, jika ia selalu menangis di tengah gelapnya malam. Berkeinginan untuk memberontak pada dunia yang kejamnya tak terkira.

Egois kah mereka jika ingin mempertahankan kehidupan rapuh ini?

"Maaf...." Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan untuk menjawab semua ucapan yang ia terima.

"Maaf..."

Ia terbiasa mengatakan kata itu setiap kali merasa dirinya berbuat dosa meski tak yakin di mana letak kesalahannya.

"Nggak, jangan minta maaf sayang... Deva nggak salah!" Ucap satu-satunya wanita dalam keluarga kecil itu. "Kita mulai lembaran baru ya, nak? Pelan-pelan kita bangkit sama-sama ya?"

Deva menatap wanita itu.

Cantik...

Bundanya begitu cantik, ucapannya begitu lembut. Tutur kata yang sopan dan tertata, benar-benar sosok yang baik dan sempurna sebagai istri dan Ibu. Tapi, Mamanya dulu juga baik... Ia ragu untuk mengiyakan karena nyatanya dunia telah membohonginya sekeras itu.

Siapa di dunia ini yang tak sakit hati ketika sosok yang ia banggakan menyebutnya anak sialan, anak cacat, anak tidak berguna, anak pembuat masalah, anak bodoh, anak nggak tahu diri, anak...

Sakit.

Hatinya sakit, dadanya sesak setiap mengingat kalimat itu, kepalanya berisik seperti kaset rusak yang memutar acak suara-suara yang entah kenapa semakin sering menggerogoti pikirannya. Memaksa ingatan yang ingin dilupakan untuk terus diingat meski tak ingin.

"Akhhh..." Kepalanya sakit, telinganya berdengung. Detak jantungnya berdegup begitu cepat seiring dengan pandangan mata yang kabur.

"Dokter!!!"

Ia ingin menutup telinganya, namun tangannya hanya gemetar tak karuan. Ia ingin berlari, tapi ia bahkan tak tahu kakinya kemana.

"Eukhh... B-berisik... Pergi!! Ahhhhhhhh sakit.... Sakit!!! Nggak mau... Sakit... T-tolong!"

Kenapa berisik sekali!!

Dia tak bisa mendengar suara Papanya yang berteriak pada dr. Nirma dan suster-suster itu.

Rungunya tak dapat mendengar tangis pilu sang Bunda atau bujuk rayuan dari kakaknya untuk bertahan. Angannya terbang jauh entah kemana, telinganya tak mendengar... Namun rasanya sakit, pikirannya berisik.

Sialan... Anak sialan

Bajingan

Nggak guna!!

Bisamu apa? Asma sialan mu itu...

Deva!!!

Beraninya kamu!!!

Nafasnya tercekat, tak mampu memandang dalam satu arah hingga pandangannya buram.

"Berisik"

po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang