Chapter III : A Terrible Joke

113 13 2
                                    

Sore itu, rasanya semua baik-baik saja. Sama seperti kemarin, jujur saja Jakarta memang tak pernah tidak panas kan? Tapi udara malamnya memang seolah berbanding terbalik. Seperti yang bisa mereka lihat, pemuda itu kini memakai sweeter berwarna toska. Sedang menatap ke arah jendela,

Orang-orang mungkin sedang makan malam sekarang, setelah tadi membantunya. Padahal tak apa jika mereka makan lebih dulu, tapi dia tak mau protes atau mengatakan apa pun. Melihat mereka bahagia hanya dengan menyuapinya, rasanya cukup damai.

Bukan pemandangan menyedihkan kala mereka menatapnya yang kesakitan, tak berdaya, atau ketika mereka harus membersihkan badan atau bahkan kotorannya. Rasanya begitu menyebalkan karena dia tak mampu melakukan semua itu sendiri dan menjadi beban bagi semua orang.

Terdengar suara pintu di ketuk tiga kali, hingga seseorang memutar knop pintu dan masuk.

Deva lihat siapa yang datang, Evan rupanya.

Ini seperti keharusan, mengetuk pintu kamar Deva beberapa kali dan jika tak ada sahutan masuk pun tak masalah. Asal tidak membuat penghuninya terkejut karena bisa saja itu berpengaruh pada kesehatannya.

"Kenapa bawa kamera?" Tanya Deva pada Evan yang tengah mengatur tripod dan kamera di depan tempat tidur yang Deva tempati. "Lo mau rekam gue? Buat apaan coba? Nggak usah bikin konten sedih-sedih deh, gue nggak mau!!"

"Ish, diem dulu napa. Ini tuh lagi trend tau, yang kita bikin video terus berapa tahun kedepan kita liat... seru njir!"

"Apaan sih, nggak jelas banget"

Evan segera naik ke sisi ranjang setelah sedikit menggeser badan Deva. Dia atur selimut adiknya beserta bantalnya agar nyaman. Deva masih menatap Evan dengan tatapan bingung dan sedikit... julid? Ya, pokoknya dia masih tak habis pikir dengan pikiran sang kakak.

"Nah, mulai!"

Deva menatap kamera, lampu kecil berwarna merah yang terus berkedip, pertanda kamera sudah merekam. Dia tatap lagi kakaknya yang tersenyum padanya.

"Oke, hai masa depan. Hari ini tanggal....  tanggal berapa?"

"15 September 2022,"

"Nah, di tanggal ini kita berdua bikin video ini. Ehmmm, gimana kabar lo Evan di masa depan? Deva juga? Gue sih berharap kita berdua bakalan sama-sama terus, sukses. Dan... sehat,"

Deva tatap lekat kakaknya yang tengah menatap kamera, sepertinya enggan menatap dirinya meski tahu. Dia tersenyum, tahu betul maksud Evan soal sehat itu.

"Terus... gue harap Evan di masa depan harus selalu jagain Deva ya!! Awas aja! Lo harus jadi kakak yang baik ya, jagain Deva terus hehe" Evan tersenyum pada Deva. "Lo nggak mau bilang apa gitu?"

"Hahhhh... sial. Guyonan lo nyebelin," Evan tergelak mendengar kata anak ini. Benar-benar lucu.

Di mata Evan, hari itu Deva terlihat ingin banyak bicara pada kamera di depannya. Atau mungkin, dia sungguh ingin berkata pada dirinya yang ada di masa depan. Masa depan yang entah seperti apa nantinya.

Rasanya, Deva seperti melihat ke waktu yang jauhhhh di masa depan sana. Menelisik setiap waktu yang mungkin akan ia lewati. "Emm, H-hai gue di masa depan. Masih hidup kan?" Senyum Evan luntur saat itu juga. Tapi, tak ia putus omongan adiknya.

"Gue harap, lo nggak bikin mereka semua repot lagi ya? Sehat dong bego!! Nggak malu apa dicebokin udah gede gini, di mandiin, di suapin, baju juga di pakein. Tidur kalau nggak pake nasal rasanya kayak mau mati, yah... walaupun ni tangan udah bisa lah pelan-pelan digerakin..."

"Dev, udah ya?" Evan bukan egois ingin menghentikan ucapan panjang adiknya. Pasalnya, Deva sudah menangis sejak tadi dan itu bukan hal baik. "Atau gue pakein nasal ya?" Deva menggeleng. Meraih tangan kakaknya dengan susah payah dan menggenggamnya erat. Bisa Evan rasakan tangan itu berkeringat dingin. Ini sungguh tak baik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

po⅁ o⊥ ɥsıMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang