Selama hampir 2 minggu Jaemin tinggal satu atap bersama Jeno, dia merasa seperti tengah simulasi pernikahan. Bagaimana tidak, dia mesti bangun pagi membuat sarapan untuk mereka berdua, karena Jeno tidak mau membeli makanan dari luar.
"Beli makan di luar belum tentu sehat. Sedangkan kamu harus hati-hati memilih makanan, jangan sembarang, nanti terjadi sesuatu sama rahimmu." Ujar Jeno kelewat santai namun tidak ingin dibantah sama sekali, membuat Jaemin mencibir.
Selain itu, Jaemin kini mencuci pakaian tambah satu tanggungan lagi selain pakainya sendiri. Jaemin malah tidak percaya kalau harus laundry di luar, dia lebih memilih mencuci sendiri. Terkadang Jeno melakukannya jika Jaemin sedang memasak dan Jeno tidak ada pekerjaan.
"Kamu kalau aktif bergerak boleh, tapi jangan terlalu berlebihan, tidak baik." Peringat Jeno yang lagi membuat Jaemin mendelik.
Mereka berdua hari ini sama-sama mengerjakan pekerjaan masing-masing di ruang tengah. Tidak ada pembicaraan dari keduanya, Jeno yang terlalu fokus, sedangkan Jaemin sebenarnya terlalu sibuk ngemil daripada memeriksa pekerjaannya. Dia memakan beberapa macam buah-buahan yang disiapkan Jeno tadi, sebagai ganti camilan ringan yang Jaemin sukai penuh dengan micin itu. Sesekali Jaemin menyodorkan garpunya menyuapi Jeno.
Setelah puas mengisi perutnya, Jaemin tiduran di karpet bulu yang didudukinya sejak tadi. Sesekali Jaemin melirik Jeno yang tidak berubah posisi sejak mereka duduk. Selama ini Jaemin tidak terlalu dekat dengan pria lain selain papanya, jadi dia merasa apa yang terjadi sekarang adalah hal baru dalam hidupnya. Dia terkadang merasa diperhatikan, terkadang juga merasa dikekang oleh Jeno. Alih-alih Jaemin marah, dia merasa berdebar dibeberapa situasi.
Jaemin berpikir bagaimana jika dia meminta sesuatu, apakah akan dikabulkan oleh pria tampan ini? Jaemin memang akui kalau Jeno itu tampan. Semua yang ada di pria itu pas menurutnya. Jaemin merubah posisinya menjadi duduk, melipat kedua tangannya di atas meja, sedangkan matanya memperhatikan Jeno, dan otaknya sibuk berpikir akankah dia coba-coba bersikap seperti seseorang yang meminta sesuatu kepada pacarnya.
"Menginginkan sesuatu?" Tanya Jeno yang telah memusatkan perhatiannya kepada pria yang sibuk curi-curi pandang padanya, dan kini memperhatikannya secara terang-terangan.
Jaemin terkekeh pelan dengan kepekaan Jeno. Untuk ukuran pria Jeno bisa dinilai memuaskan untuk pasangannya kelak.
"Aku ingin foto menggunakan pakaian Jepang, tapi bukan Jepang, Jen."
Ucapan Jaemin membuat otak pintar Jeno bekerja dengan keras. Itu maksudnya bagaimana ya?
"Coba diperjelas." Pinta Jeno.
"Ya, pakaian Jepang. Tapi bukan Jepang banget." Ulang Jaemin. "Aku ingin banget deh, Jen. Terus nanti dandan yang cantik." Jaemin sudah membayangkan seperti apa dia nanti. Pasti cantik sekali. Iya dong, Jaemin gitu.
"Sudah ada referensi?"
"Hm." Jaemin mengangguk cepat.
"Kamu bisa menggambarkan. Coba gambarkan, nanti minta tolong mommy untuk membuat pakaian yang kamu mau." Jeno menyodorkan iPad-nya.
Setelahnya Jaemin sibuk menggambar, sedangkan Jeno sibuk bertukar pesan dengan mommynya.
"Bagaimana kalau besok hasilnya tidak sesuai harapan?" Celetuk Jaemin. Dia tiba-tiba memikirkan hal-hal buruk.
"Ya lakukan lagi."
"Kalau masih tidak berhasil?"
"Lakukan langsung."
Jaemin menggeleng heboh. "Tidak ada yang begitu, ya. Atau memang itu jalan satu-satunya, aku minum obat tidur saja, ketika aku bangun nanti, aku tidak merasakan apa pun." Ucap Jaemin dengan idenya yang tiba-tiba muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Nomin
FanficJaemin dengan obsesinya menginginkan keturunan dari sosok yang di anggapnya bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun terakhir. Laki-laki berdarah Korea dengan marga Lee membuat Jaemin me...