Nana - 30 (NJ)

2.3K 167 7
                                    

Jaemin sudah cukup lama tidak datang ke kantor Jeno, jadi baru hari ini dia bertemu dengan sekretaris baru Jeno. Jaemin memperhatikan sekretaris itu lewat ujung matanya, dia tidak berniat sama sekali untuk menyapa duluan. Lagipula Jaemin risih dilihat sebegitu asatnya seolah bola matanya akan keluar dari tempat. Tidak sopan sekali, batin Jaemin.

"Tidak ada lagi kira-kira barang yang kamu butuhkan tertinggal?" Tanya Jeno kepada Jaemin setelah memasukkan koper mereka ke bagasi mobil.

Jaemin menggeleng. "Tidak ada. Sisanya beli di sana saja nanti."

"Kita berangkat kalau begitu." Jeno membuka pintu belakang berniat membukakan pintu untuk Jaemin, namun kegiatan itu berhenti ketika sekretarisnya sudah masuk duluan duduk di kursi penumpang sebelahnya lagi.

Jaemin yang melihat itu hanya mengedipkan mata bingung dengan suasana yang tercipta saat ini. "Kenapa? Kamu duduk depan sama supir kalau begitu." Kata Jaemin setengah berbisik karena posisinya dengan Jeno cukup dekat.

Jeno menggeleng tidak setuju. "Heejin, pindah ke depan." Suruh Jeno.

Heejin tampak terkejut mendengar yang dikatakan oleh pimpinannya. "Tapi kita—"

"Ini perintah." Jeno memotong ucapan sekretarisnya. "Saya tidak mau mendengar alasan apa pun."

Dengan wajah kikuknya Heejin pindah ke kursi depan.

"Hati-hati." Jeno menuntun Jaemin sampai ibu hamil itu sudah duduk dengan nyaman. Barulah dia masuk lewat sisi sampingnya. "Tidak lupa mengabari Ayu, kan?" Tanya Jeno memastikan.

"Sudah kok. Nanti di jemput sama supir di bandara. Kamu ikut ke Green House dulu ya." Jaemin mengajak langsung tidak menerima penolakan.

"Hm." Jeno ngangguk mengiyakan.

Sekitar 20 menit menempuh perjalanan menuju bandara. Jeno dan Jaemin berjalan duluan meninggalkan sekretaris dan supir yang mengurus barang bawaan mereka. Tidak sadar saja ada sepasang mata yang menatap nanar keakraban keduanya.

"Semua karyawan di perusahaan bertanya-tanya tentang hubungan keduanya, tetapi belum ada konfirmasi pasti dari keluarga Lee.  Saya sarankan kau jangan berpikir aneh-aneh. Teman lama saja mudah tersingkir, apalagi orang asing."

"Kau bicara apa sih?" Heejin mendelik tidak suka.

Supir pribadi Jeno itu hanya mengidikkan bahunya. "Sebagai peringatan saja. Mereka berdua itu patut dihindari." Setelahnya dia pergi duluan meninggalkan wanita yang belum terlalu dikenalnya.

***(NJ)***

"Singgah dulu ke minimarket, ya." Pinta Jaemin kepada sang supir.

"Iya, Tuan."

Jaemin bersandar di dada Jeno dengan nyaman. Sebenarnya dia masih mengantuk, tapi malah sibuk memperhatikan gelagat sekretaris Jeno yang tampak mencurigakan. Apalagi beberapa kali Jaemin mendapatinya curi-curi pandang ke arah perutnya. Dia bukan dukun dan tertarik dengan bayiku, kan? Batin Jaemin.

"Kamu mau beli apa? Kalau aku mengerti biar aku yang turun." Tanya Jeno.

"Tissue basah bayi sama minyaknya, ya. Merk yang sering kamu beli saja, kalau tidak ada ambil yang ada saja. Sama beli es krim matcha juga kalau ada. Oh, sekalian beli kebutuhanmu juga, karena aku tidak mau mentoleransi lagi ya, Jen."

"Hah? Apa?" Jeno menyerengit bingung dengan kalimat terakhir yang Jaemin maksud.

"Kalau kamu lupa baguslah." Jaemin memamerkan senyum lebarnya.

Kemudian mata Jeno membulat. Dia ingat tujuan tambahan ke sini. "Aku yang urus."

"Dasar." Jaemin menggeleng pelan melihat semangat yang terpancar pada mata Jeno.

"Kalian sudah menikah?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja membuat Jaemin memandang Heejin aneh.

"Ehm." Supir yang duduk di samping Heejin berdehem cukup keras. Matanya melirik Heejin lewat ujung matanya. "Saya rasa itu urusan pribadi Tuan Jaemin. Apabila semua orang tidak tahu, berarti anggota keluarga memang tidak ingin orang-orang tahu. Saya harap Anda mengerti."

Jaemin tersenyum tipis melihat wajah Heejin memerah menahan malu.

"Ada semua nih." Jeno memberikan pelastik berisikan pesanan Jaemin. Lalu kotak kecil yang digenggam oleh Jeno ia berikan juga kepada Jaemin. "Masukkan dalam tasmu, nanti terbawa aku kerja."

"Merk yang bagus." Gumam Jaemin sebelum memasukkan kotak itu ke dalam tasnya.

"Tentu saja, aku tahu mana yang bagus." Jawab Jeno dengan bangga.

"Dasar pria mesum." Dengus Jaemin.

"Jalan, Pak. Nanti berhenti dulu di hotel sebelum masuk kawasan Green House." Kata Jeno kepada sang supir. Dia tidak memperdulikan kata-kata Jaemin barusan.

"Baik, Tuan."

"Kamu tidur di Green House, kan?" Bisik Jaemin memastikan.

"Iya. Kamu jangan meragukan aku terus." Balas Jeno.

"Habisnya wajahmu meragukan begitu."

Jeno menyerengit heran. Wajah tampan begini disebut meragukan.

"Istirahatlah dulu, nanti kita berangkat setelah jam makan siang." Ucap Jeno kepada sekretarisnya.

"Baik, Sajang-nim."

"Gelagatnya mencurigakan." Mata Jaemin tidak lepas mengawasi Heejin sampai benar-benar masuk ke dalam hotel.

"Mencurigakan kenapa?"

"Masa kamu tidak merasakan sesuatu sih, Jen. Jelas begitu. Pasti ada sesuatu sama sekretaris baru kamu ini."

"Ku kirim orang untuk mengawasinya nanti kalau begitu." Timbal Jeno menenangkan Jaemin.

"Hm." Jaemin mengangguk.

Jeno memperhatikan sekitar setelah mereka masuk kawasan Green House. Hamparan luas green tea serta udara segar menyapa kedatangan mereka.

"Bagusnya kamu lahiran di Jeju saja, tinggal di sini selama beberapa bulan." Celetuk Jeno.

"Hah?"

"Di sini udaranya lebih segar, bagus untuk kalian berdua nanti."

"Iya sih." Jaemin setuju memang. "Tapi kamu mana bisa menemani setiap hari."

"Kalau kamu setuju akan aku usahakan nanti."

"Jangan lama-lama berpikir, nanti aku tidak bisa naik pesawat lagi."

"Hm, tentu."

"Oh." Mata Jaemin membulat mendapati para karyawan menunggu di halaman rumah. "Kenapa mereka serapi itu?" Gumam Jaemin heran.

"Mereka memang sudah sibuk dari kabar yang Tuan sampaikan. Apalagi tuan Lee ikut menginap di sini." Sang supir memberitahu.

"Dasar aneh. Kau jangan ikut-ikutan mereka, Jiyoung."

Dan benar saja, ketika Jeno turun dari mobil, pandangan orang-orang terpusat padanya. Jeno hanya tersenyum tipis menanggapi hal itu. Dan lebih terkejut lagi ketika Jaemin yang keluar, mata mereka melotot melihat hal berbeda pada fisik pewaris Kim kesayangan mereka.

"Ayu." Jaemin mengibaskan tangannya di hadapan temannya yang kini tampak syok. Kemudian Jaemin menoleh ke arah Jeno yang berdiri di belakangnya. "Mereka semua memang aneh. Jangan hiraukan, ayo masuk, kamu istirahat dulu sebentar."

"Barang-barangnya sudah saya letakkan di depan kamar, ya." Jiyoung keluar dari dalam rumah. "Oh, tinggal satu." Arah pandangnya menatap pada koper satu lagi di tangan pewaris Lee.

"Biar saya saja yang membawanya." Jeno yang mengerti maksud dari pandangan itu.

"Aku bakal menjadi tante." Gumam Ayu spontan.

"Tentu saja. Tolong jaga mereka selama di sini ketika saya pergi bekerja." Ucap Jeno dengan senyumnya yang lebih lebar tadi yang tadi.

"A-ah, ya." Ayu jadi gelagapan sendiri. Di senyumi sama orang tampan, siapa yang tidak gugup.

"Hahaha ...." Jaemin terkekeh geli. Ada-ada saja kelakuan orang-orang.

***(NJ)***

The Baby of a Business Rival ^ NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang