Nana - 32 (NJ)

2.3K 185 5
                                    

Jeno kadang berpikir, dapat energi berlebih dari mana Jaemin ini? Secara melewati kegiatan semalam lalu dengan dirinya yang tengah berbadan dua, tapi tampak tidak ada keluhan kalau dia kelelahan. Bahkan yang pertama kali membuka mata tadi Jaemin, ketika jam masih menunjukkan angka lima pagi, Jaemin sudah usil membangunkannya. Dan sekarang Jaemin mengajaknya berjalan santai menyusuri jalan cukup lebar di tengah-tengah perkebunan teh, sesekali membalas atau menyapa para pekerja yang sudah sibuk memetik daun teh.

Senyum Jaemin mengembang cerah sejak mereka sampai kemarin, Jeno tahu kalau Jaemin amat suka di sini, namun sayangnya mereka akan pulang lagi ke Seoul nanti siang. Jeno sangat setuju dengan idenya menempatkan Jaemin di sini, namun ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan lagi. Jeno jadi dilema, dia tidak bisa jauh dari Jaemin saat ini, ibu hamil kelewat ceria ini amat membuatnya khawatir.

"Jen, kita sarapan di depan mobil untuk kemah saja, ya." Celetuk Jaemin tiba-tiba. Ia mendongak memasang raut penuh harapnya agar Jeno tidak punya pilihan untuk mencari opsi lain.

"Asal tempatnya aman dan tidak ramai, boleh-boleh saja." Jeno hanya menatap balik Jaemin sebentar, kemudian kembali menatap ke depan memperhatikan langkah mereka. Tapi alasan sebenarnya Jeno tidak kuat dengan tatapan yang Jaemin layangkan. Jeno bertanya-tanya, kenapa makin hari putra Kim ini semakin menarik perhatiannya? Sayang sekali untuk menahannya terus di dalam dekapannya amat susah walaupun mereka sudah sedekat ini.

"Aku dulu penasaran, kenapa bisa dua orang tidak merasa malu ketika saling berhadapan tanpa sehelai benang menutupi kulit? Karena sudah terbiasa, atau karena candu. Menurutmu?"

Jeno menyerengit dengan topik yang Jaemin layangkan. Ia melirik mendapati raut penasaran yang amat jelas tergambar di wajah Jaemin. "Kamu sendiri, apakah merasa malu?" Jeno melontarkan pertanyaan balik.

"Hm, untuk yang pertama aku sibuk gugup karena kamu memaksa waktu itu, mana sempat malu." Jaemin mendengus mengingatnya. "Mana itu kali pertama kamu tahu, aku tidak pernah disentuh orang lain seintim itu." Lanjutnya, lebih seperti pengakuan.

"Itu juga kali pertamaku."

Mata Jaemin memicing tidak percaya. "Masa? Kamu terlihat pro begitu."

"Pro bukan berarti terbiasa, tapi naluri." Jawab Jeno membela dirinya.

"Jadi?"

"Kalau aku jawabannya tentu saja tidak malu. Kan di ruangan tertutup, hanya berdua dengan pasangan." Jawab dengan seadanya, ia jujur kok.

"Itu karena tidak ada perasaan dengan lawan main." Ujar Jaemin.

"Aku ada perasaan tuh, tetap biasa saja. Yang ada aku senang dan bersemangat." Kata Jeno berterus terang tanpa berniat menutup-nutupi perasaannya.

"Oh ...." Jaemin bergumam pelan, dia bingung untuk menjawab seperti apa.

"Kenapa bertanya tentang hal itu?" Jeno tidak melepaskan Jaemin begitu saja. Dia pikir topik ini cukup menarik.

"Hehehe ...." Jaemin terkekeh pelan. Ia merasa panas pada pipinya mulai menyebar.

Jeno mengerjab pelan memperhatikan Jaemin yang salah tingkah. Lucu, Jeno jadi ingin mencubit pipi berisi Jaemin.

Jaemin berhenti berjalan membuat Jeno ikutan berhenti. Lalu dia berjinjit menarik tubuh Jeno untuk sedikit merendah agar dia bisa berbisik tepat pada telinga si pria Lee, tidak ingin semisal ada yang mendengar ucapannya.

"Sebenarnya aku malu dengan kegiatan semalam. Aku tidak pernah berpikir bisa memegang milik orang lain, dan melihat sedekat itu. Aneh, tapi aku suka. Semua yang ada pada dirimu aku suka, Jen."

Jeno mematung mendengar pengakuan Jaemin. Suka? Jaemin suka padanya? Entahlah, Jeno membeku hanya mendengar kata suka yang keluar dengan mulusnya dari belah bibir putra Kim.

"Bagaimana kalau kita menikah?" Celetuk Jeno tiba-tiba.

"Hm, akan aku pikirkan." Jawab Jaemin tanpa pikir panjang.

"Hah?" Jeno menatap punggung Jaemin yang berjalan duluan meninggalkannya.

"Ayo, Daddy! Kenapa diam saja di sana?" Panggil Jaemin ketika menyadari Jeno masih berdiri di tempatnya.

"Woah!" Jeno tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

***(NJ)***

Sesuai dengan keinginan Jaemin tadi, kini keduanya duduk santai sarapan sembari menikmati hangatnya matahari pagi yang mulai menunjukkan sinar cerahnya.

Di sela sarapan mereka, Jaemin curi-curi pandang pada ponsel Jeno yang sejak tadi menyala menandakan ada pesan masuk atau sekedar notifikasi biasa, tapi itu terlalu sering menurut Jaemin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sela sarapan mereka, Jaemin curi-curi pandang pada ponsel Jeno yang sejak tadi menyala menandakan ada pesan masuk atau sekedar notifikasi biasa, tapi itu terlalu sering menurut Jaemin.

"Tidak penting." Ujar Jeno yang peka dengan gelagat Jaemin.

"Itu terlalu berisik kalau tidak penting." Jaemin mengerutkan dahinya bingung.

"Itu Heejin. Sudah kubilang kalau tidak penting tidak usah menghubungi, tapi masih saja bebal."

"Kamu tidak benar memilih sekretaris kalau begitu." Ucapan Jaemin mendapatkan reaksi bingung dari Jeno. "Dia merasa cukup penting menghubungi di luar jam pekerjaan, sekretaris yang profesional tidak seperti itu, kecuali kalian sudah teman dekat atau bahkan punya hubungan. Masalahnya juga dia sekarang aman-aman saja toh, tempat menginapnya juga bagus dan nyaman, kenapa masih sibuk mengganggu coba?"

"Ku pikir wanita dan pihak bawah memang seperti itu." Jawaban Jeno mendapat delikan tajam dari Jaemin. Ia merinding seketika.

"Aku tidak seperti itu tuh. Berarti maksudmu aku bukan pihak bawah begitu?! Wanita juga bukan, terus aku apa?!"

"Aku tidak bermaksud begitu." Jeno gelagapan. "Stella juga suka seperti ini walaupun tidak sesering Heejin. Kamu juga seperti itu karena aku yang meminta sih." Ia menjelaskan pelan, takut makin kena marah.

Jaemin menghela napas guna menghilangkan rasa kesalnya. "Menurut pengamatanku, Heejin bakal menjadi wanita sumber ribut kita kalau kamu tidak bisa mengendalikan tingkahnya lho, Jen." Jaemin memberitahu. "Kalau aku kesal, ku hajar tanpa belas kasih dia nanti."

"Ya, tidak apa-apa." Ujar Jeno agak tidak yakin. Tidak akan ada pertumpahan darah, kan? Jeno takut dengan kebar-baran Jaemin nanti. Tidak sadar saja kalau dia sama saja, Jeno agaknya lupa ingatan.

"Kita lihat saja nanti." Jaemin tersenyum lebar membayangkan apa yang akan dia lakukan nanti.

"Ngomong-ngomong, untuk rencana kamu menetap di sini beberapa bulan sampai baby bisa ikut naik pesawat sepertinya agak sulit terealisasikan. Daddy bilang lebih baik di Seoul saja, dengan waktu yang cukup lama tidak mungkin aku meninggalkan kalian walaupun hanya beberapa hari." 

"Ya sudah, nanti tinggal di rumah ku saja. Dari semuanya rumahku yang paling asri." Jaemin tidak ambil pusing.

"Tapi kamu bahagia di sini." Jeno masih kekeh dengan keinginannya.

"Aku juga bahagia di sana kok. Sudah, jangan terlalu dipikirkan, Jen." Jaemin menepuk-nepuk lengan Jeno pelan. "Baby, coba hibur Daddy." Ia membawa tangan Jeno meletakkan pada perutnya.

"Bisa begitu, pintar merayu." Jeno bergumam merasakan pergerakan dibawah telapak tangannya.

"Iya dong, kan anakku." Tutur Jaemin bangga.

"Anak kita." Jeno membenahi ucapan Jaemin.

***(NJ)***

The Baby of a Business Rival ^ NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang