Lelaki berperawakan tinggi tegap itu terlihat asyik dengan beberapa lelaki lainnya yang sama-sama sedang duduk melingkari meja beton bundar yang ada di tepi taman dengan pepohonan rindang. Mereka nampak gembira dengan kartu Uno yang berada di tangan masing-masing. Lelaki bertubuh tegap itu menyunggingkan senyuman paling lebar dari yang lainnya. Ia melemparkan satu kartu dari tangnnya, dengan tersisa satu kartu di tangannya.
"Uno!" teriaknya sambil tertawa bahagia.
Tiga lelaki lainnya terlihat menggerutu. Bagaimana tidak? Kartu di tangan mereka masih sangat banyak. "Giliran lu Ik!" ujar lelaki berambut sebahu yang dikuncir setengah itu.
Lelaki lainnya menyambut dengan melemparkan dua kartu sekaligus dari tangannya. Faik, yang duduk di sebelah kiri lelaki bertubuh tegap itu tersenyum semringah sebab kartunya tersisa tiga. "Ayo Dhim." Ujar Faik pada lelaki dengan rambut sebahu tadi.
"Sombong lu gitu doang!" kesal Adhim melihat senyuman di wajah temannya. "Mamam tuh, Kim!" ujarnya sembari melemparkan satu kartu dengan tulisan +4 di pojok-pojoknya. Adhim kemudian tertawa bahagia, sedangan lelaki yang bermain setelahnya sedikit menggerutu akibat tembakan yang dilancarkan oleh temannya itu.
"Nih, gua juga punya kali!" seru Hakim sembari melemparkan kartu yang sama dengn Adhim. Lelaki yang memiliki perawakan paling kecil dari yang lainnya itu menyusul tawa Adhim yang mendadak hilang, tidak menyangka Hakim bisa melawannya. "Ayo lawan gua Gus!"
"Kena!" Lelaki dengan perawakan tegap itu menyeringai dan melemparkan kartu terakhir yang ia pegang. "Uno game!" serunya. Kemudian tertawa dan sembari bersidekap dengan angkuh.
"+4!" seru ketiga temannya.
"Oh shit!" seru Faik melihat tiga kartu pusaka itu saling bertumpukan di tengah meja. Ia menatap ketiga kartunya dengan penuh pertimbangan, kemudian menatap temannya satu-persatu.
"Buruan woy!" seru Adhim yang sudah tidak sabar. "Udah, ambil aja. Akui kekalahan lu!" seru Adhim dengan tawa kecil di bibirnya.
"Hajar aja Ik. Ngga usah kasian sama bangke kek dia!" ujar Gus diiringi tawa kencangnya.
"Faik mana punya kartu sakral gitu. Dia kan suka dapet kartu yang paling ancur!" timpal Adhim.
"Bangke lu! Ngeremehin nih kayanya!" Wajah Faik menunjukkan seringai yang seketika melenyapkan senyum di wajah Adhim. Dengan santai, Faik menyimpan kartunya tepat di atas kartu yang sebelumnya telah dilempar Gus. Ya. Itu adalah kartu sacral yang sama dengan tiga kartu lainnya.
"Bangke! Kampret lu!" Teriak Adhim penuh rasa frustasi.
Sementara itu, lelaki lainnya terlihat bahagia melihat penderitaan Adhim. "Makan tuh plus enam belas kartu!" teriak Hakim penuh kepuasan. Ia yang terlihat paling bahagia melihat penderitaan Adhim daripada temannya yang lain.
Adhim yang melihat itu langsung saja menyerang Hakim yang berada tepat di sebelahnya. "Kampret ya lu! Sohib ngga ada akhlak emang!" seru Adhim sembari memiting leher Hakim hingga lelaki itu sedikit kesusahan bernapas. Sedangkan Gus dan Faik hanya tertawa kencang melihat mereka berdua tanpa berusaha memisahkan.
Ketika suasana sedang memuncak, tiba-tiba seseorang menyiramkan setengah gelas plastik cairan pada tumpukan kartu uno di atas meja beton itu, disusul dengan lemparan korek api kayu yang kemudian menyulut api berkobar dari tumpukan kartu tersebut.
"Huaaaa! Apaan nih!" teriak mereka.
Kejadian yang berlangsung sangat cepat itu membuat keempat lelaki itu tidak sempat mencerna apa yang terjadi dan langsung melempar kartu yang masih mereka pegang. Mereka langsung mencoba memadamkan api tersebut dengan perasan panic. Tapi belum sempat mereka memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba Gus berteriak kesakitan akibat telinganya yang tiba-tiba ditarik oleh seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kahfi
Подростковая литература"Diantara miliyaran manusia di dunia ini, aku tahu Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa alasan" Uwais Al-Qorni, seorang lelaki tampan pujaan kaum hawa. Hampir seluruh perempuan yang mengenalnya rela bertekuk lutut di hadapannya demi mendapat perhati...