Bagian 3 - Gadis Kahfi

32 2 1
                                    

            Uwais duduk terdiam di teras depan masjid. Punggungnya bersandar pada tembok di belakangnya. Matanya terpejam namun telinganya terbuka lebar. Mendengarkan dengan takzim bacaan surah Al-Kahfi yang terasa begitu menentramkan hati. Suara itu begitu merdu. Setelah sekian tahun dia tinggal di pondok pesantren ini, baru pertama kali ini dia mendengar suara semerdu dan selembut suara ini.

Siapa cewek ini? Kenapa gue baru denger suaranya?

Tiba-tiba ia teringat kejadian setahun yang lalu. Saat ia masih bandel. Mencoba menggoda santri putri dari tembok pemisah antara gerbang sekolah putra dan putri bersama Adhim, Hakim, dan Faik.

Ya, kenakalan itu sudah lewat setahun di belakang. Sejak hari itu Uwais tidak lagi melakukan kebiasaan buruk bersama teman-temannya. Kini ia sudah bertaubat. Aisyah menjadi orang yang paling bahagia melihat perubahan itu. Umi dan Abi sama bahagianya. Kini, Uwais tidak pernah lagi bergaul dengan Adhim dan yang lainnya. Rupanya dia memiliki dunia sendiri sekarang.

Sejak penerimaan santri baru di buka, Umi dan Abi memintanya untuk menjadi guru di madrasah. Awalnya Uwais menolak. Namun Ummi terus membujuknya hingga mau tak mau, ia tetap menjadi guru madrasah.

Namun Uwais bukanlah guru biasa. Dia mengajar hanya di kelas khusus. Kelas yang jam belajarnya lebih lama dari kelas reguler. Jika biasanya kelas akan berakhir di jam 10 siang, maka kelas khusus akan berakhir di jam 12 siang.

Sistem pengajaran di pondok pesantren Darul Qur'an ini memang agak berbeda dari pesantren lain. Jika biasanya sekolah reguler dimulai sejak pukul 7 hingga dzuhur dan di lanjutkan dengan madrasah yang di mulai dari ba'da dzuhur hingga ashar menjelang, namun disini berbeda. Karena pelajaran agama lebih penting dari pelajaran umum, maka madrasah di laksanakan sejak pukul setengah delapan pagi hingga jam 10 atau jam 11 siang. Dan sekolah di laksanakan pukul 1 siang hingga menjelang maghrib.

Uwais membuka matanya ketika suara gadis di speaker masjid putri itu berhenti. Kemudian mencoba memperhatikan orang-orang yang berlau lalang dari pintu samping masjid, pintu yang hanya digunakan oleh santri putri. Jarak antara pintu itu ke tempatnya duduk hanya lima meter, sehingga ia bisa dengan jelas melihat siapapun yang lewat, dengan harapan bisa menemukan gadis yang membaca surah Al-Kahfi tadi. Namun sial baginya karena bukan putri cantik yang keluar dari sana, melainkan putri galak yang dari dulu selalu ia hindari. Uwais berdecak kesal.

"Uwais. Ngapain kamu disini, huh? Mau tebar pesona mentang-mentang ganteng?" Aisyah langsung mencecar uwais dengan kata-kata pedasnya

"Dih apaan sih Mba, orang aku abis dari masjid juga." Uwais mencoba membela diri.

"Iya abis dari masjid, terus sekarang mau tebar pesona. Ngelirikin cewek yang keluar masjid, iya?"

"Astaghfirullah Mba.. Sama adek sendiri juga, suudzon mulu..." Uwais memasang wajah terluka. Membuat Aisyah ingin muntah di buatnya.

Jika perempuan lain yang mendapat senyuman atau tatapan menggoda dari Uwais, mungkin mereka akan tertunduk dengan wajah bersemu merah. Namun jika hal itu dilakukan kepada Aisyah, Uwais justru akan terkena jitakan sadis dari Kakaknya itu. Wajah tampannya tidak akan pernah mempan jika untuk menggoda Kakaknya.

"Idih, udah deh jangan sok ganteng kamu! Nggak mempan tau.."

Uwais memutar matanya jengkel "lah.. Emang gue ganteng kok! Mba aja yang gengsi ngakuinnya" balas Uwais dengan percaya diri. Uwais memamerkan senyum mempesonanya.

Bukannya mendapat pujian, dia malah mendapat cibiran. "Idih, ke-pede-an banget kamu," Aisyah menatap Uwais dengan tatapan jengah.

Uwais membela diri. Tidak terima dengan ucapan kakaknya. "Lah, emang faktanya gitu kok!" Terkadang Uwais merasa jengkel. Kenapa kakaknya ini tidak ikut suaminya saja? Mengurus pondok pesantren mertuanya yang berada di kota seberang? Kenapa suaminya yang harus ikut Aisyah?

Gadis KahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang