Alhamdulillah lagi seneng, walaupun belum ada yg baca, tapi mau double update aja hari ini 😁
Selamat membaca....
****
Kondisi Zia yang tidak baik membuat Fiona sangat prihatin sekaligus khawatir. Dia mengajak Zia masuk ke dalam rumah, lalu mereka duduk bersebelahan di atas kasur di kamar Zia yang terlihat seperti tak dibereskan selama beberapa hari. Pakaian yang berserakan dari lemari yang pintunya tak ditutup rapat. Alas kasur yang berkedut tak karuan bentuk, mangkuk dan piring bekas pakai pun bertengger di sembarang tempat. Perasaan Fiona sedikit melega karena tahu, setidaknya Zia masih memakan sesuatu.
"Zia, ceritain aja sama gue, jangan dipendam sendiri," bujuk Fiona memegang pundak Zia.
Zia tertunduk lesu. "Gue gak sanggup, Fi. Gue pengen udahan aja," lirih Zia. Suaranya serak akibat menangis terlalu lama.
"Udahan gimana?" tanya Fiona.
"Gue pengen nyusul Nita, nyusul nyokap gue. Gue kangen nyokap, di sini gue capek, lagian Ayah juga udah gak peduli lagi sama gue, buat apa lagi gue hidup?"
Plak!
Fiona reflek menampar paha Zia. "Heh! Jangan asal ngomong!"
Zia agak terkejut, dia langsung menoleh pada Fiona.
"Kalo gak ada yang peduli sama lo, ngapain gue ada di sini? Ngapain temen-temen semua pada nanyain kabar lo? Guru-guru juga nyariin lo."
Zia tersenyum sinis. "Mereka cuma kepo. Coba aja mereka tau kondisi gue kayak gini, pasti diketawain abis-abisan. Yang benci gue banyak, Fi."
"Siapa? Gak ada yang benci sama lo," sangkal Fiona dengan wajah meyakinkan.
Zia menggeleng tak percaya. "Gue gak bodoh, Fiona. Gue tahu semuanya."
"Semua apa, sih?"
Zia berdecak kecil. "Masa lo gak ngerti sih, Fi?" nada bicaranya meninggi. "Gue ini gak diinginkan siapapun, gue ini beban, saingan, musuh. Di rumah, gue gak dipeduliin bokap, dia lebih milih cewek matre itu. Sama cowok yang gue cintai mati-matian, gue dikhianati. Sama orang yang gue percaya, gue ditusuk dari belakang. Belum lagi orang-orang munafik di luar sana, yang suka gosipin gue aneh-aneh, yang iri sama gue, yang ngehujat gue, jujur gue udah capek sama semua itu."
Zia menangis. "Apalagi setiap gue lihat Ardan bareng Selina, ini hati gue kayak dirobek-robek, sakit banget."
Derai air mata berjatuhan lagi, masih deras, seolah tak ada habisnya. "Ardan kok tega lakuin ini, padahal dia tahu gue gak bisa hidup tanpa dia. Dia alasan gue bisa tanpa Ayah. Dia yang bantu gue bangkit, dia yang paling tahu gimana gue, dia yang dulu paling peduli. Jujur gue gak sanggup tanpa Ardan, Fi, hiks...."
Fiona memeluk Zia, lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Zia menangis sesenggukan, Fiona membiarkannya cukup lama sampai Zia lebih tenang
"Zia, dengerin gue baik-baik. Gue paham lo kecewa sama Ardan. Tapi jangan sampai lo kecewa sama semua orang, karena faktanya gak semua orang jahat sama lo. Salah satunya gue, lo percaya sama gue 'kan?" tanya Fiona.
Zia menatap mata Fiona, lalu mengangguk pelan.
"Gue peduli sama lo, lo sahabat terbaik bagi gue. Walaupun lo sering lupa sama gue kalau lagi sama pacar lo, lihat aja apa gue sekarang ninggalin lo? Enggak 'kan?"
Zia masih diam dengan tatapannya yang dalam mencari keseriusan dari mata Fiona.
"Kalo soal Ardan, gue sepakat dia memang bejat dan jahat. Gue udah tahu itu dari dulu, gue udah pernah bilangin sama lo, tapi lo ngeyel, karena lo cinta banget sama dia, makanya mata lo buta buat melihat betapa banyaknya tuh cowok punya redflag."
![](https://img.wattpad.com/cover/372953572-288-k930852.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Jatuh Cinta (TAMAT)
Fiksi Remaja#karya 3 "Mengapa cinta bagiku justru berlawanan dari maknanya?" Sahabat Kanzia bunuh diri gara-gara depresi diputuskan pacarnya. Tak lama setelahnya, pacar Kanzia justru kepergok menyelingkuhinya. Awalnya Kanzia berpikir untuk menyusul saja sang sa...