Part 2: Flashback

225 29 0
                                    

Bukan salahnya ia terlahir. Sedari dulu, ia tak pernah punya keinginan untuk terlahir di keluarga itu. Dua orang dari dua keluarga yang berbeda. Orang tuanya berasal dari keluarga yang saling bermusuhan terpaksa menjalani kehidupan bersama karena tak sengaja melakukan itu ketika mereka mabuk di sebuah bar. Dan tentu saja hubungan mereka tak direstui oleh kedua pihak keluarga.

Kamu tak berguna. Cepatlah kuliah. Beban keluarga. Kamu nggak akan pernah saya anggap sebagai keluarga. Gadis itu amat benci ketika dikata-katai oleh keluarganya seperti itu.

"Kalian yang ena-ena, kenapa aku yang kena getahnya?" Mungkin hampir tak ada hari tanpa gadis itu menyumpah serapahi orang tuanya.

Namun gadis itu, (Name) tak pernah melakukan sesuatu. Ia selalu berusaha jadi anak yang baik dan patuh selama ini. Meski kebencian dalam dirinya sudah mendarah daging, tak pernah sekalipun pemikiran untuk membalas semua perbuatan orang tuanya.

Ia harap suatu saat nanti orang tuanya akan berubah dan sedikit menyayanginya jika ia tetap jadi anak yang baik dan patuh.

Sayangnya hal itu membuat dirinya jadi idiot terbesar sepanjang sejarah. Orang tuanya tak pernah peduli maupun menyayanginya. Bagi mereka, (Name) hanyalah sampah yang harus disingkirkan.

Ia tak dibutuhkan. Maka dari itu—

"Matilah, (Name)..." Tanpa perasaan, orang tua (Name) bekerja sama untuk membuang (Name) kecil ke lautan.

—gadis sepertinya harus disingkirkan secepat mungkin.

"Ayah? Ibu?"

Mungkin ia sudah gila.  Sungguh, rasa-rasanya (Name) ingin tertawa. Tak ia sangka kalau usahanya selama ini sia-sia. Jika ia tahu endingnya akan begini lebih baik sejak awal ia menjadi anak nakal saja. Bukankah bersenang-senang sebelum mati lebih menyenangkan ketimbang tak ada kenangan sama sekali.

Ia sungguh menyesal tak membuat kenangan yang baik sepanjang hidupnya.

Aku tak ingin mati... setidaknya biarkan aku membuat kenangan indah dulu. Siapapun... tolong... aku...

Dan keajaiban itu datang. Orang asing muncul di hadapannya dengan kebetulan dan berhasil melacak (Name). Mengulurkan tangannya pada (Name) kecil yang sudah hampir sepenuhnya ditenggelamkan oleh kegelapan.

'Tuhan, ternyata masih sebaik itu denganku...'

****

(Name) merasakan sakit luar biasa menghantam kepalanya. Serasa dipaksa menggunakan helm sebesar gaban, duduk saja rasanya begitu susah. Ya, jangankan duduk. Membuka mata pun juga sulit.

"Aku... di mana?"

Langit-langit hitam, tembok hitam, lemari kayu, selimut coklat tua, dan sebuah komputer. Tampaknya ia dikelilingi segala yang berwarna gelap.

Ini jelas bukan rumahnya. Tak ada kamarnya yang di desain sesuram ini. Kebanyakan kamar di rumahnya pasti dihias dengan warna yang cerah. Jadi jelas ini bukan rumahnya.

"Owh, akhirnya kau bangun juga, Nak." Seorang pria dengan rambut side bangs datang dari luar pintu, membawakan (Name) beberapa biskuit dan susu hangat. Rambutnya sangatt hitam, tatapannya pun seakan-akan pekat dengan kegelapan. Satu hal yang anak itu tahu. Bahwa orang ini... menakutkan.

"Siapa kau?" Keduanya saling bertukar pandang. Yang satu memandang sedikit ketakutan, sedangkan yang satu lagi tampak seperti tak peduli.

"Aku takkan memberitahukan namaku, tapi kau bisa memanggilku Sun."

Jelas (Name) terkejut akan pernyataan dari orang di depannya. Orang sesuram dan segelap dia dipanggil matahari? Lihatlah, bahkan aura pembunuh yang kental tercium jelas hanya dengan berada di sisinya. Jelas-jelas orang ini berbahaya. Apa sebutan matahari itu layak diberikan oleh orang semacam ini?

"Namamu?" Giliran lelaki itu yang bertanya. Namun (Name) terdiam. Mau bagaimanapun, ia jelas tak pantas menyandang nama yang kini ia pegang. Orang dengan 'nama itu' telah mati bagi orang tuanya. Ia merasa tak ingin lagi menggunakan nama itu.

"Kau tak mau menjawab?" tanya orang itu memastikan. Gadis itu terdiam lagi. Haruskah ia memberitahu nama aslinya pada Sun?

"Aditama... namaku (Name) Aditama..."

"Keluarga Aditama ya? Bagaimana seorang keluarga Aditama berada di lautan itu?"

"Aku dibuang sendiri oleh orang tuaku," gumam (Name) lirih yang sebetulnya

"Wah, wah... ternyata orang tuanya begitu tega ya membuang anak mereka sendiri?" sindir Sun.

Situasi yang hening kini mengendalikan mereka. Canggung sekali. Rasanya hawa dingin akan terasa jika berada di dekat mereka berdua.

"Terus, apa yang akan kau lakukan setelah ini, Nak?"

"Entahlah. Terus terang aku tak ada tujuan. Aku juga tak punya impian yang harus dikejar. Tak ada seseorang di dekatku yang ingin aku hidup." Setelah hening sejenak, gadis itu melanjutkan, "Tapi... meski begitu, aku ingin tetap hidup. Setidaknya aku ingin mendapatkan memori yang indah meski hanya sedikit. Beri... aku sebuah kesempatan. Mungkin dengan begitu, aku akan mendapatkan memori indah yang bisa membuatku tak menyesal telah hidup di dunia."

Lelaki yang di depan (Name) itu tersenyum simpul. Bersamaan itu pula, dengan hati-hati ia menyuapi (Name) biskuit yang dicelupkan ke dalam susu.

"Kau benar-benar hebat untuk anak seusiamu, Nak. Kamu kuat. Aku akan memberimu sebuah tujuan. Jadilah salah satu anggota di organisasi kami. Aku akan memberikanmu kebebasan dan mengabulkan semua keinginanmu jika tujuan kami telah tercapai. Apa kau mau?"

Gadis itu menatap pria itu berbinar. Menjulur rasa hangat di hatinya kala mendengar rentetan kata datang dari seorang lelaki yang menyelamatkannya. Terima tawaran itu. Jika ia menerimanya, ia jadi punya tujuan yang baru.

"Iya, aku mau."

Sekali lagi lelaki itu memasang senyum puas. "Bagus, semangat yang cukup bagus. Mulai besok aku akan melatihmu dengan keras. Bertahanlah sekuat tenaga. Latihanku cukup berat loh. Jika aku telah merasa kalau kamu sudah layak, aku akan memberimu sebuah misi."

"Baik!"

"Sekarang kamu bukanlah seorang Aditama lagi. Aditama (Name) sudah mati. Kamu yang sekarang adalah seorang calon anggota dari organisasi kami. Kamu sekarang adalah (Name) Wiritama. Codename, Earth. Bagaimana? Apakah kau rela membuang nama Aditama dari sekarang?"

Gadis itu menatap lamat-lamat orang di depannya. Kedua tangannya diam-diam gemetaran. Antara gugup, takut, dan kelewat senang jadi satu. Sejujurnya ia masih takut dengan orang di depannya. Apalagi mengajak orang asing seperti (Name) masuk ke dalam organisasi mereka terdengar sangat mencurigakan.

Namun, orang inilah yang menyelamatkan (Name). Setidaknya, ia harus membalas budi pada orang ini dan meraih kebebasan dan kebahagiaan yang ia dambakan. Biarlah organisasi ini menjadi batu lompatan untuk impian kecilnya. "Ya, aku bersedia."

"Bagus. Selamat datang di kehidupan barumu, Earth..."

My Cutie Earth // Wee X ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang