15. I Can't

1.2K 268 238
                                    

🔞🔞🔞

***

Berdiri di hadapan cermin, Binaya mematut diri. Tubuh semampainya terbingkai sempurna dalam balutan halter dress selutut berwarna hitam, memamerkan kemolekan sepasang bahunya. Tergerai rambutnya yang sebatas pinggang, menebarkan wangi manis saat helaiannya ia tepis pelan ke belakang. Binaya berputar sekali lagi demi memastikan penampilannya tidak akan bikin malu Nadhif sebagai orang yang mengajak Binaya pergi. Ia tersenyum pongah pada refleksi diri, mengangkat satu jempol, lantas usap bangga pucuk hidung. Oke, flawless! Untuk sentuhan terakhir, perempuan itu menyemprotkan parfum ke leher dan pergelangan tangan. Lalu ia ambil tas di atas ranjang dan bergegas temui lelaki yang menunggunya di parkiran.

"Waw," gumam Nadhif takjub begitu Binaya menempati kursi sebelah. "Hi, gorgeous!" Sinar matanya menyirat kepuasan. Lelaki itu terbiasa melihat Binaya dengan pakaian kasual, jadi sedikit pangling ketika disuguhi sisi femininnya. Keanggunan mencuat kuat dari cara Binaya bergerak dan mengukir senyuman tipis. Tampil dalam kesederhanaan saja Binaya tampak menarik, apalagi sekarang sesudah Binaya memoles diri—ugh! Nadhif bersedia bertekuk lutut di hadapan keindahan perempuan ini.

Binaya mengulas senyum miring, lalu mengibaskan rambut. Arogansi hadir di wajahnya. "Well, what can I say? I am gorgeous. Indeed." Namun, ekspresi itu lantas luntur, berganti raut geli. Ia mendengkus dan kemudian terkekeh. Sambil memasang seatbelt, ia bilang, "Nanti jangan jauh-jauh dari gue ya, Dhif? Gue takut bertingkah norak."

"Yaelah, Bi, santai aja."

"Mana bisa. Lo ngajak gue ke birthday party sepupu lo, yang berarti bakal banyak orang kaya ngumpul di sana."

Nadhif terkekeh. "Biasa aja lagi. Nanti juga pada sibuk sendiri. Tapi iya, sih, gue nggak boleh jauh-jauh dari lo, Bi. Yang cantik-cantik gini kalau lengah dikit aja pasti langsung disamperin tukang gombal. Don't worry, I'll hold your hand everywhere I go," candanya.

"Tukang gombal?" Binaya menoleh sekilas, lantas melepas dengkus keras. "Lo lagi ngomongin diri sendiri, ya?"

Nadhif merespons dengan tawa, tidak lagi menyahut. Fokus ke jalanan yang cukup ramai. Sementara itu, Binaya membawa atensi ke sisi sebelah kiri, tatapannya menembus kaca jendela. Menyorot kosong segala sesuatu yang bergerak cepat di luar sana. Binar di matanya meredup tatkala hampa itu kembali bertamu, indikasi badai di kepala lagi-lagi mengamuk—berisik.

Mobil ini melaju pada satu tuju; Bar di daerah Dago, tempat sepupunya Nadhif menggelar pesta ulang tahun. Binaya bisa turut serta datang karena Nadhif mengajaknya tadi sore dengan alasan butuh gandengan. Awalnya ia menolak, merasa sungkan berbaur di antara orang-orang terdekat Nadhif yang jelas menapaki level berbeda dengan Binaya. Namun, bisikan hati membuat Binaya pada akhirnya sudi menerima tawaran tersebut. Karena mungkin di sana, ia bisa menemukan seseorang. Sudah lewat beberapa hari sejak terakhir kali ia melihat Sangga, setelahnya baik Javas atau Sangga tak lagi mendatangi Binaya ke apartemen. Ketidakhadiran yang sepatutnya bikin Binaya bahagia, tetapi tidak, sungguh, ia justru ingin tahu keadaan lelaki itu. Ingin tahu situasi Sangga—mungkin? Mustahil Javas, 'kan? Sial, entahlah, ia pun tersesat dalam ketidakmengertian.

Empat puluh menit ditempuh, mobil Mini Cooper itu tiba di halaman Bar. Dengan gentle Nadhif membukakan pintu, ulurkan tangan, menawarkan genggaman yang tadi Binaya pinta. Ia kemudian melangkah bersama Binaya, menyongsong gemerlap dunia malam.

Bau alkohol langsung merangsek ke hidung Binaya begitu ia menapaki bagian utama bar. Dengan gelagat sedikit canggung ia pasrah dibawa ke mana pun Nadhif mau. Kerlap-kerlip lampu besar yang menggantung bikin Binaya mengerjap sesaat. Dentuman musik yang dimainkan disk jockey, bau tajam dari bercampurnya wangi berbagai parfum dan minuman keras, suara riuh tawa orang-orang dengan tampang semringah—suasana baru yang membuat Binaya merasa asing. Ia bahkan menahan napas saat lewat di antara orang-orang, rasa sungkan baru hilang ketika ia sampai di meja. Posisi mejanya agak belakang dengan pencahayaan temaram. Binaya lega, sebab di sebelah sini ia tidak terlihat.

[✓] Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang