Epilog

1.7K 255 72
                                    

Tak pernah terbesit di kepala Binaya jika dirinya akan berakhir menikahi Javas Gantari—lelaki yang membuat Binaya hidup bagaikan dalam neraka. Memberi Binaya banyak penderitaan. Dan begitulah kehidupan. Takdir bak bola liar, menggelinding ke arah yang tidak diduga-duga, menggerus semua kemustahilan. Di sinilah Binaya kini, menyandang status sebagai seorang istri. Belum, Binaya belum menerima Javas seutuhnya. Rasa cinta masih ia sangkal. Masih takut untuk berterus terang perihal rasa. Ia tak ingin Javas mengetahui dirinya juga mendamba lelaki itu, takut Javas besar kepala dan kembali memperlakukannya dengan semena-mena. Binaya suguhkan sikap jutek adalah bentuk pertahanan diri, tidak ingin dianggap mudah sehingga Javas akan menginjak-injaknya lagi.

Tidak mudah bagi Binaya beradaptasi dalam pernikahan ini. Sungguh. Akan tetapi, ia berusaha. Ia tak main-main, menganggap statusnya dan Javas kini sebagai sesuatu yang sakral. Melihat kesungguhan Javas membuat Binaya perlahan-lahan bersedia memberikan lagi kepercayaannya kepada lelaki itu.

Yang terlanjur rusak, meskipun harus terseok-seok, mereka mau menatanya kembali. Bersama. Berdua. Berusaha.

"Jav!" Binaya setengah berteriak dari dalam kamar. "Kok lama?" protesnya dengan nada parau sembari menarik selimut hingga ke bahu. Perempuan itu tumbang sejak pagi, mual lagi—ia tersiksa karena sudah berulang kali muntah dan merasa lambungnya tak menyisakan secuil pun bubur yang ia telan kala sarapan. Sebelumnya sudah datang seorang tenaga medis ke apart, memeriksa Binaya, menyarankannya ke rumah sakit untuk mendapatkan cairan infusan. Namun, Binaya batu. Alhasil Binaya pun diinfus di tempat.

Si lelaki memasuki kamar membawa sepiring irisan mangga. Lantas duduk di sisi Binaya. Khawatir ekspresinya. Jelas ia cemas, sebab lihat tampang si cantik yang pucat—lebih mendingan dari sebelumnya. "Nasinya dihabisin enggak?" Javas melirik ke nakas dan dapati isi di piring sisa setengahnya. Tidak apa-apa, setidaknya ada yang masuk ke lambung Binaya sebelum mangga ini disantap perempuan itu.

Mata sayu Binaya langsung berbinar melihat irisan kuning condong merah di tangan Javas. Dicomotnya satu dan langsung mendarat di mulut. Dengan mata terpejam dan manggut-manggut,  Binaya meresapi kenikmatan mangga tersebut. "Enak banget," gumamnya girang. Setelah ia mual dan muntah sepagian, membuatnya lemah, letih, dan lesu—mangga ini menjelma obat ampuh untuk mengembalikan mood Binaya. Namun, baru menyantap dua iris, ia tiba-tiba bertanya dengan raut muka yang kembali melas, "Jav, mau kacang-kacangan deh. Ada nggak ya?"

"Ada, Sayang. Mau almond, pistachio, atau walnuts? Mau yang mana, hm?"

Binaya berlagak mikir. "Semua, Jav."

Javas terkekeh, lalu beranjak keluar kamar—ya, sebab sekarang mereka tidak lagi menghuni apartemen tipe studio. Demi kenyamanan sang istri, Javas memboyong perempuan itu ke apartemen yang lebih besar; terdiri dari dua kamar. Desainnya mewah, tetapi tetap memberi kesan homey yang hangat dan nyaman. Membawa tiga toples dalam dekap, Javas balik ke kamar. Ditaruhnya ke pangkuan sang istri toples berisikan kacang almond karena itu yang pertama mau Binaya cicipi. Dan selagi Binaya mengunyah, Javas memperhatikannya, tersenyum samar-samar. Ia selalu nelangsa setiap melihat pendar binar di mata Binaya. Ia menyesal dulu pernah merusaknya dengan air mata. Perempuan ini kini teramat berharga, Javas rasa-rasanya bersedia mengusahakan bahagia dari seluruh penjuru dunia untuk Binaya.

Binaya mendongak, menatap Javas tepat di mata. Diulurkannya tangan yang diinfus, lantas merengek, "Sakit, Jav~" Kadang-kadang Binaya memang lupa kalau dirinya harus sok enggan.

"Sini, Sayang." Javas raih tangan itu, kemudian meniupnya dengan pelan berulang-ulang. Sesekali ia sematkan kecupan lembut yang bikin Binaya melengos demi menyembunyikan kuluman senyumnya. Padahal Javas melihat jelas perempuan itu tersipu. "Kerasa mendingan nggak?" tanyanya.

Binaya mengangguk.

Jawaban tersebut tak membuat Javas berhenti meniupi punggung tangan Binaya, kali ini sambil mengelusnya.

"Cute," gumam Binaya.

Javas mendengarnya dengan kelewat jelas kendati suara Binaya mengudara tak lebih nyaring dari denting jarum jam. Namun, ia tahu Binaya berkata begitu sambil berharap Javas tidak mendengarnya. Jadi ia dengan iseng bertanya, "Kamu bilang sesuatu, Bi?"

"Ah?" Binaya mengerjap. "What?"

"Did you say something?"

"Ya."

"What it was?"

"You're look like foot."

"You think I'm cute?"

Binaya seketika mati kutu. "Kenapa lo denger, sih?" gerutunya. Agak tengsin.

"Telinga saya peka sama pujian."

"Yeuu, narsis itu mah!"

Javas terkekeh. Tak ia biarkan Binaya menarik tangan—malah Javas tahan. Lelaki itu bawa tangan Binaya ke atas paha sendiri dan mulai mengelusnya lagi. "Kita kan udah nikah, boleh gak panggil saya jangan pakai nama, Bi?"

"Jav, mau ini!"

"Jav, mau itu!"

"Tolong kupasin ini dong, Jav!"

"Tolong ambilin air boleh gak, Jav?"

Perkataan Binaya terngiang-ngiang di telinga Javas, dan Javas tak suka pada satu kata terakhirnya. Terdengar jauh dan tidak mesra, padahal mereka kini sudah resmi menjadi pasangan. Meski Javas sudah sering memanggil Binaya dengan panggilan manis seperti babe, sayang, dan lainnya—Binaya tak juga meniru. Betah dengan "Jav!"—nya itu.

"Okay, Your Majesty," canda Binaya.

"C'mon, Babe. Be serious."

Binaya ketawa nista, tetapi kemudian berdecak. "Lo banyak mau. Emangnya pengin dipanggil gimana? Aa'? Mas—"

"Itu!" Javas semringah.

"Mas?"

"Iya!"

Ekspresi Binaya mendadak berubah jadi tengil. Senyumannya menyirat teka-teki. "Beg me," katanya jumawa.

"Please, By?"

"Do it properly, Javas." Sengaja sekali Binaya menekan satu kata terakhir.

Javas menghela napas, lalu tiba-tiba sedikit memiringkan kepala. Matanya mengedip lambat, terkesan amat lugu. Sesaat bibirnya mengerucut—tampak lucu di mata Binaya—lalu ia meminta dengan suara lembut menggemaskan, "Please?" Akan tetapi realita dengan cepat menghajar kesadaran lelaki itu, membuat kepalanya jatuh tertunduk. Ia lemas karena malu. Dipijitnya dahi selagi mendengarkan Binaya tertawa. "God ... what did just I do ...," bisiknya.

***

— Tamat —

Okeeee, cut!

Terima kasih banyak untuk yang menemaniku menulis cerita ini😍 Untuk kalian yang mengapresiasi cerita ini lewat vote dan komen, love you sosososososo much<3<3<3 Komentar yang kalian tinggalkan beneran jadi pil semangat buat aku. Terima kasih banyak, ya.

Setelah baca cerita ini, boleh dong bagi kesannya di paragraf ini:) Kritik dan saran selalu aku terima, tolong jangan ragu untuk ngasih aku masukan yaw<3

Ini kayaknya jadi cerita yang tiap chap-nya up paling cepet. Kalau kalian reaktif sama cerita yang aku tulis, aku tuh jadi gak tega biarin kalian nunggu lama-lama tau haha

Sekian deh ya, see you di cerita Bluesy berikutnya❣️❣️❣️

Stay happy dan healthy ya temen-temen<3

[✓] Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang