24. Nyawa

1.3K 269 95
                                    

Jangan jadi siders, dums😚

***

Sangga membuka mata, gelap penuhi penglihatannya. Ia tak tahu berada di mana, hanya wangi manis favoritnya yang singgahi penciuman tiap kali ia mengambil napas. Dekat. Hangat. Bak menjelma nyata satu rengkuhan yang selama ini Sangga damba. Mengerjap pelan, berangsur-angsur jernih objek pandangnya. Saat itulah ia tahu jika diri tidur lelap dalam pelukan Binaya.  Sangga bergerak hati-hati mengubah posisi jadi terlentang. Berusaha keras meminimalisir guncangan pada kasur agar Binaya tak terusik. Langit-langit ruangan jadi fokus Sangga, melamun, dan mengira-ngira; sudah berapa hari ia tak muncul? Perkiraan Sangga sih lama, pasalnya sekarang bukan ruang rawat inap lagi yang ditempati, tetapi unit apartemen Binaya. Sangga lantas meraba-raba tangan kiri, dan perban masih di sana—masih sakit ternyata.

Lelaki itu kembali terdiam di bawah bayang-bayang sunyi. Aneh, lantaran rasanya hampa. Padahal sekarang ia didekap Binaya, perempuan yang ia cinta. Namun, malah nelangsa yang merambati dada. Alhasil ia bergerak lagi ke sisi ranjang, pelan, dan sesekali  melirik Binaya takut si cantik terjaga. Sangga melepas napas lega ketika tiba di tepi tanpa membangunkan Binaya. Dalam posisi duduk memunggungi si jelita, kepala Sangga sedikit menoleh ke belakang, memandang lamat-lamat wajah damai yang terbuai lelap. Satu sudut bibir Sangga melengkung tipis, menyirat kesedihan yang mendalam. Lantas ia beranjak, berharap dapat menemukan ketenangan di balkon.

Sangga sendirian di kursi, berteman sunyi, menatap kosong gelap malam. Hawa dingin mengetuk pori, tetapi ia tak peduli. Berisik dalam kepala telah sita semua atensi. Namun, renungan Sangga terjeda. Derit pintu menggilas seluruh tanya di benak Sangga. Lelaki itu menoleh, ditemukannya Binaya di ambang pintu. Kecantikan masih bisa Sangga lihat di wajah Binaya kendati tidur membuatnya sedikit kuyu. Tak ada sepatah kata mengudara, untuk sesaat mereka hanya saling menatap.

Senyap, tetapi masing-masing dari mereka sadari bahwa mata tengah saling mengungkap yang tak kuasa dilisankan. Sangga menunggu Binaya melepas kata, akankah Binaya juga mengusirnya seperti Jafran? Anggap Sangga tidak ada, memanggil Sangga tak dengan nama Sangga, melainkan sisi lain—jika mampu, Sangga amat mau menghapus momen kala Jafran tidak mengakui eksistensinya. Sebab sungguh, rasanya menyakitkan sekali.

"Lagi ngapain, Sa?"

Satu tanya itu menjelma tetesan air embun, mengguyur ketakutan Sangga. Si lelaki tersenyum tipis, lengkungan bibirnya tidak tampak jenaka seperti biasa. Malam ini, Sangga tidak ingin memakai topeng sok tangguhnya. Ia lelah. "Lo kebangun gara-gara gue?"

Sambil melangkah ke kursi kosong di sisi lain meja, Binaya menyahut, "Iya. Gue kira lo ke mana." Lalu ia melirik ketika Sangga menggumamkan maaf. "Masih jam dua malam, Sa, kenapa lo malah melipir ke sini? Mimpi buruk?"

"Mimpi buruk gue justru dimulai pas gue buka mata, Aya." Sangga menoleh ke depan, enggan mengadu tatap. "Gih bobo lagi. Begadang enggak baik buat lo. Di sini dingin banget, nanti sakit."

Binaya menghela napas panjang, lalu mengalihkan atensi ke depan, sedikit menengadahkan kepala hanya untuk kecewa sebab langit tak pertontonkan bintang. Mendung—seperti dua jiwa yang dinaunginya. Kebisuan mereka menyembunyikan jerit atas pukulan telak realita. Peliknya konflik batin menggerus euforia di dada keduanya.

"Aya."

"Ya?"

"Javas gak bikin lo nangis lagi, 'kan?"

Binaya tersenyum samar, kelakuan lucu Javas semingguan ini seketika berlarian dalam kepalanya. "Enggak, malah dia yang sering nangis karena gue." Binaya betulan tak menyangka seseorang seperti Javas yang dingin dan sadis bisa berubah begitu drastis.
Menjadi manja dan kekanak-kanakan.

[✓] Two SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang