Sangga langsung lari pontang-panting menjangkau motornya seusai sebuah pesan dari Binaya singgahi ponselnya.
Sa, tolongin gue—tiga kata yang bikin Sangga beranjak detik itu juga. Sangga abaikan denyut di kepala yang sejak pagi mendera, terjang hujan di balik lindungan mantel. Berkendara seperti orang kesetanan, menyalip cepat bak pembalap, kontan tuai bunyi klakson panjang dari kendaraan lain. Cemas ini mencengkeram erat dada Sangga, gara-gara sehabis mengirimkan pesan yang terkesan gawat tersebut, nomor Binaya mendadak tidak aktif. Alhasil Sangga menempuh perjalanan seraya menduga-duga. Melesat jauh ke arah negatif pikirannya—bikin tak karuan.Sesampainya di apartemen, lelaki itu menemukan gulungan selimut di atas ranjang. Setengah berlari ia mendekat dan sekonyong-konyong menyibakkan selimut. Mencelos jantungnya begitu mendapati Binaya meringkuk dengan mata terpejam. Makin keruh pikiran Sangga lantaran belakangan Binaya sering mengiriminya curhatan lewat pesan, tentu saja tidak sempat Sangga balas karena Javas tidak mengizinkan. Ditepuknya lembut pipi Binaya selagi memanggil-manggil namanya, "Aya? Bangun, hei? Gue di sini." Lalu rasa lega perlahan menyelimuti dadanya kala mata Binaya terbuka, memicing sebentar, dan kemudian tersenyum tipis—senyuman yang menyirat letih.
Binaya bergerak pelan mendudukkan diri, meringis samar sembari pegangi keningnya yang sedikit berdenyut, ini efek menangis sebelum tadi tertidur.
"Gue kira lo nggak bakal dateng," kata Binaya, kemudian tatapannya naik ke mata Sangga, temukan sorot khawatir yang kentara di sana. Perempuan itu lekas menggeleng, beri isyarat jika ia baik-baik saja. "Ke mana aja sih, Sa?" tanyanya dibarengi dengkusan samar. Dengkusan yang samarkan nelangsa, lantaran Binaya jelas-jelas tahu alasan Sangga kerap menghilang bak ditelan bumi. Kini, setelah Binaya merenung panjang, ia tersadarkan kalau Sangga tidak benar-benar nyata. Sosok yang Binaya sayang itu dapat menghilang tanpa aba-aba. Hilang begitu saja. Tak berbekas, menuju keabadian yang tak menyisakan tanda. Lenyap. Kesadaran tersebut membuat Binaya takut. Bikin Binaya ingin selalu dekat-dekat lelaki itu. Makanya beberapa hari terakhir Binaya selalu merecoki Sangga lewat pesan, meskipun tak pernah dibalas.
Sangga cengengesan, tapi sorot cemas senantiasa di matanya. Sambil sentuh dahi Binaya demi memastikan suhu tubuh perempuan itu normal atau tidak, ia membalas, "Belakangan gue sering sakit kepala, Aya, jadi jarang keluar rumah." Sangga diam sejenak, menatap Binaya lamat-lamat. "Pucet banget muka lo, tapi nggak anget, kok. Lagi ada yang ganggu pikiran lo, ya?"
Binaya menggeleng. "Pengin Tomyum, deh," gumamnya, dengan mata yang mendadak berbinar-binar. Ditatapnya Sangga penuh harap. "Beli yuk, Sa?"
Sangga tergelak. "Jadi gue cabut dari rumah bela-belain nerobos hujan dan bawa motor kayak Rossi cuma demi ini, Aya? Tomyum doang?" Diusaknya rambut Binaya yang sudah semrawut, bikin perempuan itu merengut lucu. "Nggak perlu nyari keluar, gue bikinin aja deh. Tunggu sini, oke? Gue cosplay Gordon Ramsay dulu. Bobo lagi sana."
Binaya terkekeh, fokusnya mengikuti punggung Sangga yang mendekat ke counter table. "Emangnya bisa, Sa?"
"Bisa, dong. Jangan ngeremehin gue. Gini-gini gue multifungsi," balasnya.
"Multitalenta, Sa, multitalenta."
Kekehan Sangga terdengar. "Iya, itu." Lantas ia membuka lemari kabinet di bagian bawah, berencana mengambil sebungkus mie instan varian Tomyum lantaran di kunjungan terakhirnya ke apartemen ini ia menemukan banyak bungkus mie instan di dalam sana. Ia tidak betulan bisa masak, hanya mau iseng saja. Akan tetapi pergerakannya terhenti begitu mendapati beberapa dus kecil bertuliskan susu untuk ibu hamil. Kekagetan menyergap pundak Sangga, membekukannya seketika. Ia termangu selagi mendengarkan suara dari patahan hati sendiri. Benda itu tidak mungkin ditaruh di sana tanpa alasan, 'kan? Pantesan—bisik benak Sangga. Menyendu tatapannya. "Gue rasa ... harus nyari Tomyum beneran."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Two Side
FanficTentang dua sisi, yang coba Binaya pahami. ⚠️Don't copy my story⚠️