Dentengin antara garpu dan sendok terdengar kalah dengan gelak tawa pasangan ini. Benedict yang biasa terlihat tegas kini memperlihatkan sisi manisnya kepada Odette, pria itu tengah menyuapi kekasihnya sambil bersenda gurau.
Hal itu membuat Abigail dan Byron tersenyum tipis, mereka berdua lega Odette bisa tertawa selepas itu, karena selama perjalanan gadis itu terlihat terlalu banyak pikiran, mungkin juga memikirkan keadaan Abigail sebelumnya.
"My love, kamu harus menghabiskan semua makanan ini ya! Sudah dua bulan kita tidak bertemu, tapi kamu malah kehilangan berat badan..."
Odette memelas, "Yang Mulia, saya tidak akan sanggup menghabiskan semua makanan ini, dan berat badan saya masih sama dengan dua bulan yang lalu."
"Lihat," Benedict mengangkat tangan Odette, "Tanganmu semakin kecil, sayangku. Membuatku sedih melihatnya..." Benedict menempelkan tangan Odette ke wajahnya, menuntun Odette untuk mengelus lembut pipinya.
"Yang Mulia sangat merindukan saya, ya?" Odette menatap Benedict penuh sayang, mengelus pipi kekasihnya itu dengan lembut.
"Iya, aku sangat merindukanmu, sayang. Kalau saja aku bisa meninggalkan tugas mungkin aku bisa datang ke rumahmu bersama dengan Byron..." Benedict menoleh ke arah Byron, tapi dia langsung menyeringit.
Sebenarnya saking senangnya Benedict melihat Odette, dia sampai tidak melihat keberadaan Byron, hal itulah yang membuatnya kebingungan saat melihat Byron menggunakan topeng.
Benedict menunjuk Byron, "Kenapa kamu memakai topeng?"
Abigail dan Byron saling melirik, setelahnya Byron pun menjelaskan, "Saya menggunakan topeng karena–"
"Karena wajah Tuan Byron terdapat luka, Yang Mulia." Abigail memotong penjelasan Byron, membuat Benedict sedikit curiga tapi dia menerima penjelasan itu, karena dia tidak terlalu ingin mengurusi masalah pelayan pribadinya. Di sini yang perlu dia perhatikan hanyalah Odette sekarang, begitulah pikirnya.
"Nona Abigail, anda tidak boleh berbohong dengan Pengeran Benedict." bisik Byron pada Abigail.
"Jika kamu jujur, butuh waktu yang lama untuk memberi penjelasan pada Yang Mulia Pangeran Benedict. Jangan buang waktu pasangan ini."
"Baiklah..."
"Yang Mulia, saya sudah kenyang."
"Kamu yakin?" Odette mengangguk.
"Baiklah, sekarang pergilah ke kamarmu, ganti bajumu, karena aku akan mengajakmu berjalan-jalan, bagaimana?"
"Temui aku di taman, ya?"
Odette mengangguk, "Baik, Yang Mulia. Kalau begitu saya izin undur diri, terima kasih atas makanannya..." Odette membungkuk memberi salam, di ikuti juga oleh Abigail lalu kedua wanita itu keluar dari ruang makan bersama-sama.
Sesampainya di dalam kamar, Abigail langsung menyuruh tiga pelayan untuk menyiapkan bak mandi. Abigail juga langsung menyiapkan pakaian yang cocok untuk kencan Odette nanti sore.
"Sepertinya Pangeran akan mengajak Nona Odette berjalan-jalan santai saja, kalau begitu gaun ini akan cocok untuk Nona Odette." Abigail mengambil gaun itu dari lemari, lalu meletakkannya di gantungan baju.
Setelah mendapatkan laporan dari para pelayan, Abigail memanggil Odette untuk bersiap-siap. Keempat gadis itu lantas membantu Odette mandi, ada yang menggosok kakinya, ada juga yang menggosok punggungnya, sedangkan Abigail membantu membilas rambut Odette.
"Sabun kerajaan memang beda ya..."
"Iya, harumnya sangat cocok untuk Lady Barrington."
"Kamu salah, seharusnya kamu memanggil Lady, Yang Mulia."
Mendengar pelayan-pelayan ini saling menyaut, Odette lantas tertawa kecil, "Aku belum resmi menikah dengan Yang Mulia Pangeran, cukup panggil aku seperti biasanya..."
"Tapi, kami harus mulai terbiasanya, Lady–"
"Sebenarnya siapa yang mengizinkan kalian mengulur waktu? Apa kalian lupa, Lady Barrington harus segera bersiap-siap?" mendengar pernyataan Abigail langsung membuat ketiganya diam, mereka dengan cepat langsung mengerjakan tugas mereka kembali.
Setelah beberapa jam bersiap-siap, Odette dengan di temani Abigail pergi menuju taman, menunggu kedatangan Benedict di sana.
Tak lama menunggu, Benedict akhirnya sampai di taman, setelah itu dia langsung membawa Odette ke gandengannya, mengajak sang kekasih menghirup udara segar di taman.
Karena tidak mau mengganggu waktu mereka berdua, Abigail memutuskan berjalan-jalan sendirian, namun saat akan pergi seseorang memanggil namanya, dan dia langsung tahu suara siapa itu.
"Anda mau pergi kemana, Nona Abigail?"
"Saya hanya akan pergi sebentar, saya permisi terlebih dahulu, mari..."
"Biarkan saya menemani anda..." Byron langsung menyamakan langkahnya dengan Abigail, membuat Abigail gemas sendiri melihatnya.
"Nona Abigail, bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja, Tuan Byron." sesekali Abigail menatap Byron, menunggu pertanyaan yang akan di lontarkan pria gagah itu.
"Kemarin malam, saat pencuri masuk ke dalam penginapan. Kenapa anda malah menghampirinya? Bukankah suara yang dia hasilkan sangatlah mencurigakan?" Abigail bisa merasakan dari mata Byron kalau pria ini masih mengkhawatirkannya.
"Saya memang ceroboh, tapi anda tidak perlu mengkhawatirkan saya lagi, tuan."
"Jika saya terlambat, dia bisa saja melakukan sesuatu hal yang buruk pada anda." Byron menghentikan langkahnya, di dalam hatinya dia sedang sangat takut. Bayangan darah yang keluar dari kepala Abigail masih saja teringat, juga saat pencuri itu hampir menyentuh Abigail.
Abigail mengulum senyum, "Tapi anda tepat waktu, dan saya sangat berterima kasih atas itu."
"Di masa depan saya akan mengurangi kecerobohan saya, jadi Tuan Byron mohon bimbingannya..." Abigail menunduk, lalu melanjutkan perjalanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abigail the Maid
FantasyBelum pernah terbayangkan tiba-tiba saja bangun di dunia novel online yang aku baca. Bahkan aku terbangun sebagai tokoh sampingan. Entah bagaimana caranya aku bisa terbangun di dunia ini, aku hanya berharap semuanya hanyalah mimpi. Yang mungkin meru...