Byron terkejut dengan saran ayahnya, sementara Abigail hanya menatap lilin itu dengan penuh harap.
"Maksud Ayah?" tanyanya, setengah ragu.
Davian menatap keduanya dengan serius. "Jiwa Abigail Rosewell telah lenyap, dan tubuh ini perlahan menolak jiwa dari dunia lain yang merasukinya. Jika kita membiarkan proses ini terjadi secara alami, tubuhnya akan menolak sepenuhnya dan Abigail dari dunia lain akan hilang dan lilin ini mungkin bisa mengarahkan jiwanya kembali ke dunia asal."
Abigail merasa ketakutan, tetapi juga merasakan secercah harapan. "Berarti, ada kemungkinan saya bisa kembali?"
Davian mengangguk, lalu mengangkat lilin itu. "Ini bukan lilin biasa. Aku merasakan kekuatan yang terhubung dengan dimensi lain, mungkin dimensi asalmu, Abigail. Itu berarti kita akan membiarkan tubuh ini perlahan-lahan menolak keberadaanmu, dan lilin ini akan menjadi titik balik terakhir ketika waktunya tiba. Namun, kita harus melakukannya dengan tepat."
Byron menatap ayahnya dengan penuh rasa khawatir. "Apa yang harus kita lakukan selama proses ini?"
Davian menjelaskan, "Abigail harus berada dalam keadaan tenang, baik pikiran maupun fisiknya. Sebisa mungkin, hindari segala hal yang bisa memperburuk kondisi tubuhnya. Lilin ini juga harus dijaga dan dibakar secara berkala. Saat tubuh ini hampir sepenuhnya menolak jiwanya, Abigail akan berada dalam titik di mana ia bisa bertransisi ke dunianya."
Abigail menundukkan kepala, mengerti bahwa proses ini akan membuatnya semakin lemah dan mungkin menyakitkan, tetapi ini satu-satunya jalan pulang.
Byron menggenggam tangannya, memberi kekuatan."Aku akan bersamamu selama proses ini, Abigail. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu."
Abigail tersenyum tipis, menahan air mata yang ingin jatuh. "Terima kasih, Byron. Aku tahu ini tidak mudah untukmu juga."
Malam itu, Byron membawa Abigail kembali ke kamarnya dengan hati-hati. Sesampainya di sana, dia menyalakan lilin dan meletakkannya di meja samping tempat tidur Abigail. Cahaya lilin yang hangat memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang tenang.
"Kamu siap untuk ini, Abigail?" tanya Byron, suaranya hampir berbisik.
Abigail mengangguk pelan, meskipun jauh di dalam hatinya ada ketakutan akan ketidakpastian yang menunggunya. "Ya. Aku percaya kita bisa melakukannya."
Setelah melihat mata Abigail perlahan menutup, Byron juga dengan perlahan meninggalkan kamar Abigail menuju kamar Putri Odette untuk membicarakan keadaan Abigail.
Byron tentu saja tidak akan memberitahu seluruh hal yang dia ketahui, Byron perlu berbohong pada Odette mengenai beberapa hal tentang keadaan Abigail.
Setelah sampai di kamar Odette yang ternyata juga ada Benedict di sana, Byron lantas menyapa keduanya. "Selamat siang Yang Mulia Pangeran Benedict dan Yang Mulia Putri Odette, maaf jika keberadaan saya mengganggu waktu Yang Mulia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Abigail the Maid
FantasiaBelum pernah terbayangkan tiba-tiba saja bangun di dunia novel online yang aku baca. Bahkan aku terbangun sebagai tokoh sampingan. Entah bagaimana caranya aku bisa terbangun di dunia ini, aku hanya berharap semuanya hanyalah mimpi. Yang mungkin meru...