Rifanny meraih gagang pintu kayu jati itu dengan hati-hati. Sentuhan dingin logam itu terasa menembus kulit. Dengan pelan ia memutar gagangnya, mendengar suara klik yang halus namun memecah keheningan. Daun pintu berderit pelan saat didorong, menciptakan celah kecil yang menampakkan nuansa kamar Saena.
"Na?" Suara itu memanggil putri tunggalnya.
Saena yang tengah memasukkan pakaiannya ke dalam lemari itu berhenti sejenak, menoleh ke arah sumber suara, lalu tersenyum tipis.
"Ada apa, Bun?" tanyanya masih dengan aktivitas sebelumnya.
Rifanny membalas senyuman itu, kakinya melangkah mendekati Saena. Tatapannya begitu lembut, selalu, dipenuhi dengan rasa sayang yang tak terucap.
"Kamu bingung mau pakai baju yang mana?" tanya Rifanny to the point saat melihat baju Saena yang berserakan di atas kasur.
"Gak, Bun. Aku lagi beres-beres aja." balas Saena, atensinya tertuju pada tangan Rifanny yang membawa sesuatu.
"Ini Bunda udah bawakan baju untuk kamu, Papahmu yang udah siapkan." katanya seraya menyodorkan totebag berwarna biru muda itu kepada Saena.
Saena mendekat ke arah kasur dengan napas yang tertahan, diikuti oleh Rifanny dan meletakkan kantong itu di sampingnya.
"Bun." lirih Saena seraya menatap nanar Rifanny. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat, seakan menambah beban di hatinya.
Dalam pikirannya terlintas ribuan kata, tapi semuanya hancur sebelum sempat menjadi kalimat. Pada akhirnya, yang keluar hanyalah embusan napas panjang. Ia memalingkan wajah, seolah dengan begitu bisa melupakan perasaan yang bergemuruh di dalam. Amarah itu tak hilang, hanya terpenjara dalam diam, membakar perlahan tanpa bisa meledak.
Melihat putrinya hanya diam, Rifanny mengganggukan kepalanya pelan. "Bunda paham, tapi malam ini kita harus pergi, Na."
Benar, apa yang diucapkan oleh Rifanny memang benar, tetapi juga salah. Salah, kenapa mereka harus pergi?
"Bunda.... Malam ini aku akan menolak perjodohan itu. Bunda tahu hati aku hanya untuk siapa." Saena berbicara dengar bibir yang bergetar, sementara pikirannya terus berputar seperti kompas rusak, mencari arah yang tak kunjung jelas. Pilihan itu bukan sekedar soal siapa yang ia pilih, tapi juga dampak yang akan terjadi begitu keputusan itu dibuat. Ia tahu, Ayahnya akan kecewa terhadapnya.
Kedua mata Rifanny menyipit. "Na apakah gak terlalu cepat?"
Kini gadis itu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. "Kak Elvas udah tahu, dan aku gak mau buat mereka berharap. Dan cinta itu gak bisa dipaksa, Bun. Aku yakin, Bunda pasti ngerti perasaan aku." balasnya tegas.
Rifanny mendengarkan dengan saksama, kalimat putrinya barusan penuh dengan permohonan. Ia tersenyum, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Kalau itu emang keputusan kamu, Bunda akan terus berpihak sama kamu, Na." finalnya dengan tenang, nada suaranya penuh ketulusan. Tak ada paksaan, tak ada keraguan, hanya keyakinan bahwa setiap orang berhak menentukan pilihannya sendiri. Apalagi, putrinya ini sudah dewasa.
"Makasih, Bunda." ucapnya seraya tersenyum tipis di akhir kalimatnya. Saena sangat tahu betul bahwa Bundanya akan selalu mengerti akan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALSEDER [Promise Of Love]
RandomAlseder Sayyan Maularos. Lelaki rapuh, Sang penakluk hati. Dia lelaki yang memiliki suatu keinginan, dan keinginan itu akan terpenuhi jika ia menepati janjinya dengan seseorang. Bukan hal yang mudah baginya, banyak halangan dan rintangan yang harus...