Dari kejauhan, Wasesa dan Fairus hanya bisa melihatnya dari jarak itu untuk mengamati Jihan dan teman temannya yang sedang menunggu operasi yang sedang dilakukan terhadap Abby.
Berkali kali Wasesa menunduk dan mengusap air mata yang menetes, dirinya benar benar merasa gagal sebagai seorang ayah "Saya tau kamu juga marah dengan saya, Fairus"
Ucapan yang berisi kebenaran itu segera menyentil hati Fairus, pria tua yang sudah menganggap Jihan sebagai anak nya sendiri pun sangat tersiksa saat melihat betapa kacaunya Jihan di depan ruang operasi itu. Tidak pernah sekalipun Fairus melihat Jihan sehancur ini.
Kedua lutut Jihan memerah dan terdapat darah yang sudah mengering disana, pakaiannya kotor, rambutnya berantakan, wajahnya yang selalu menawan itu sama sekali tidak rapih, make up hancur, tetapi semua itu tidak Jihan pedulikan.
Lalu Fairus juga begitu kecewa dengan Wasesa, ternyata bos yang ia percaya sangat baik itu hanyalah kedok bahwa sebenarnya ia adalah seorang pembunuh. Maka karena fikirannya begitu kacau, Fairus tidak membalas pertanyaan dari Wasesa.
Membuat Wasesa kembali berbicara dengan lemah "Tidak papa, memang saya pantas menerima semua itu"
Fairus menggeleng, ia lalu mencengkram gagang dorongan di kursi roda milik Wasesa dengan erat, barulah setelah itu dirinya berbicara "Tetapi bagaimana bisa Tuan Besar membunuh-" ia tercekat
Mendengar itu, air mata Wasesa kembali mengalir, dirinya lalu tersenyum miris "Saya gelap mata, begitu mencintai istri saya sampai sampai saya menjadi gila. Dan saat melihat Jihan ternyata begitu membenci saya dengan serius, saya baru tersadar bahwa tidak seharusnya saya melakukan itu"
"Bukan hanya kamu yang kecewa pada saya, Fairus. Saya juga sangat kecewa pada diri saya sendiri. Jika saja ada mesin waktu, saya ingin kembali dan tidak melakukan apa apa, saya ingin kembali agar saat itu saya hanya peduli dan fokus pada Jihan saja"
"Tetapi semuanya sudah terlambat. Tuan Besar tetaplah salah"
Wasesa mengangguk, dirinya lalu berbicara dengan lirih "Saya selalu merasa bersalah, menjadikan saya fokus pada pekerjaan dan berusaha untuk mempercayai Herman lebih dari apapun. Karena perasaan bersalah itu selalu menghantui saya"
Wasesa berhenti sebentar, lagi lagi kedua matanya itu menatap dengan penuh kasih sayang pada anak semata wayangnya "Jika kamu ingin pergi meninggalkan saya karena sudah terlalu kecewa pada saya, tidak papa, lakukanlah. Tetapi tolong tunggu sebentar lagi, ada hal yang ingin saya bicarakan padamu untuk kebahagiaan Jihan"
Fairus terdiam, apakah ia berkeinginan untuk pergi meninggalkan Wasesa, Fairus bertanya pada dirinya sendiri, lalu jawabannya adalah abu abu. Fairus masih belum bisa memutuskan selanjutnya apa yang harus dilakukan agar tindakannya terasa benar.
"Apakah kamu mau, Fairus?"
Laki laki itu terdiam, dan setelah memikirkan panjang lebar akhirnya Fairus mengangguk dan berbicara dengan tegas "Ya, asalkan ini demi Nona Jihan"
Mendengar itu, Wasesa mengangguk sembari tersenyum "Tentu demi anakku, demi siapa lagi? Aku tidak mempunyai siapa siapa setelah Jihan"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐍𝐎𝐂𝐊 𝐎𝐔𝐓 : The Gotham Statue
FanfictionDunia licik untuk uang membuat para generasi penerus nya merasa bosan, untuk itu hadirlah sebuah permainan untuk mengusir rasa bosan mereka. Knock Out adalah permainan yang menghubungkan antara seorang Jihan, yang sudah sedari dulu dipuja dan ditur...