02. Murid Baru

154 47 97
                                    


.・゜゜・.・゜゜・



Arunika mengangguk lagi, kali ini sedikit ragu. "Tentu, ada apa?" jawabnya akhirnya, suaranya lembut namun tetap terdengar dingin.

"Kudengar dari anggota OSIS, kaulah yang memenangkan kompetisi melukis yang diadakan minggu lalu. Sebenarnya kami butuh bantuan sekaligus penawaran."

Arunika mengernyit, bingung dengan arah percakapan ini. "Bantuan apa?" tanyanya.

"Kami berencana mengadakan pameran seni bulan depan," kata Lionel. "Sebagai ketua OSIS, aku bertanggung jawab untuk memastikan pameran ini berjalan lancar. Kami berpikir, lukisanmu yang menang kompetisi itu akan menjadi daya tarik utama."

Arunika menatap Lionel dengan rasa penasaran. "Maksudnya, Kak Lionel ingin aku memajang lukisanku di pameran itu?"

Lionel mengangguk. "Benar. Tapi bukan hanya itu. Kami juga ingin kau membantu mengatur pameran, mungkin bahkan menjadi bagian dari tim kuratorial. Kau punya bakat dan mata yang tajam untuk seni, dan kami yakin kau bisa membawa sesuatu yang spesial untuk acara ini."

Arunika terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. "Kenapa aku?" tanyanya akhirnya. "Kenapa tidak meminta seseorang yang lebih berpengalaman?"

Lionel tersenyum tipis. "Karena kami melihat potensimu. Dan kadang-kadang, pandangan segar dari seseorang yang baru bisa membawa perubahan yang tidak terduga. Lagi pula, ini juga bisa menjadi kesempatan besar bagimu untuk menunjukkan bakatmu ke lebih banyak orang."

Arunika menundukkan kepala, mempertimbangkan kata-kata Lionel. "Baiklah," katanya pelan. "Aku akan membantu."

Lionel tersenyum lebar, jelas lega dan senang dengan jawaban Arunika. "Terima kasih, Arunika. Kau tidak akan menyesal telah bergabung dengan kami."

"Terima kasih untuk penawarannya, Kak Lionel. Aku akan melakukan yang terbaik." Arunika kembali berjalan.

Pandangan Lionel masih tertahan pada Arunika yang sudah menjauh untuk menghadiri kelasnya hingga akhirnya ia tak terlihat lagi.

°°°


"Luna, sudah kukatakan aku tidak sehebat itu dalam mata pelajaran sastra," keluh Alex pada gadis berwajah manis yang mengenakan jaket denim dihadapannya.

Luna masih sibuk mengetik di komputer dan menjawab, "Kau hanya perlu mendengar penjelasan guru dengan seksama, perbanyak membaca, atau selesaikan penyelidikanmu dengan cepat agar kau bisa berhenti menyamar dan segera kembali ke sini."

Dengan gerakan kasar, Alex mengusap rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya. "Tapi semua nilai itu berlebihan, aku tidak sepintar itu. Bagaimana kalau aku sampai ketahuan?"

"Jika ingin diterima di SMA Arcanum Academy, aku harus memberi nilai yang tinggi di raport palsumu."

"Sudahlah, percaya saja padanya. Kau tahu sendiri ia ahli IT yang terbaik di kantor kita," sahut Jay yang sedang menyantap sup iga kesukaannya.

"Aku tau, tapi-" Alex kemudian terdiam saat sesuatu terbesit dalam pikirannya. "Tunggu, nama apa yang kau berikan untukku?" tanyanya sambil menatap ke bawah pada Luna.

Arcanum AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang