.・゜゜・.・゜゜・
Kata-kata terakhir Vina membuat Arunika melirik ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Alex yang memperhatikan reaksi Arunika, merasa seolah ada sesuatu.
"Ya, memang beruntung," jawab Alex setelah diam beberapa detik. "Aku rasa aku masih perlu waktu untuk beradaptasi."
Vina tersenyum, "Jangan khawatir, kau akan terbiasa. Jika bosan kau bisa keluar di hari Minggu-kita hanya diperbolehkan untuk keluar di hari itu."
Percakapan mereka terhenti sejenak saat Lionel dan beberapa anggota OSIS mendekati meja mereka.
"Hei, Arunika. Kau sedang menikmati makananmu?" tanya Lionel dengan ramah.
Arunika mendongak. "Iya."
Lionel tersenyum dan menoleh ke arah Alex. "Kau pasti murid baru, kan?"
Alex mengangguk. "Benar. Aku Arga, baru pindah ke sini."
"Senang bertemu denganmu. Aku Lionel, ketua OSIS," kata Lionel, mengulurkan tangan untuk berjabat.
Alex menjabat tangan Lionel. "Senang bertemu denganmu juga."
Lionel lalu kembali melihat Arunika. "Kami akan kembali ke kelas sekarang."
Arunika mengangguk pelan sebagai respon. Setelah itu, Lionel dan anggota OSIS lainnya melanjutkan perjalanan mereka.
Lionel dan teman-temannya melanjutkan langkah mereka, meninggalkan meja itu.
Vina menghela napas sambil menopang dagunya dengan punggung tangan kirinya."Ah, aku suka sekali wangi kopi itu. Ayahnya pekerja di ladang kopi, bukan?"
Arga mengernyit. "Siapa maksudmu?"
"Kak Lionel," jawab Vina. "Dia selalu beraroma kopi. Ngomong-ngomong, Arga," kata Vina sambil menatap Alex. "Apa kau sering membajak sawah?"
Alex tertawa kecil mendengar pertanyaan Vina yang tiba-tiba. "Tidak, tidak pernah. Kenapa kau menanyakannya?"
"Itu karena tubuhmu. Aku bisa melihat otot-otot yang tersembunyi dibalik pakaian itu, kau tahu."
Arunika berdehem begitu Vina menyelesaikan ucapannya.
Vina tersenyum sambil mengangkat alis. "Jadi dari mana kau mendapatkan otot-otot itu?"
Alex diam sebentar sambil berusaha mencari alasan-tak mungkin dia mengatakan bahwa semua otot itu didapat dari pelatihan sebelum menjadi anggota kepolisian, bukan?
"Aku sering lari pagi, itu saja."
"Ah, masuk akal," kata Vina, mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kau pasti akan suka fasilitas olahraga di sini. Mereka cukup lengkap."
Percakapan mereka terhenti ketika bel tanda masuk kelas berbunyi. Mereka berjalan bersama menuju kelas. Sesampainya di kelas, Alex duduk di tempatnya dan berusaha fokus pada pelajaran. Namun, pikirannya tidak bisa lepas dari tujuan utamanya. Ia tahu, untuk menyelesaikan misinya di sana, dia harus mendekati orang-orang yang tepat dan mendapatkan kepercayaan mereka untuk menggali informasi yang berguna.
°°°
Matahari mulai meredup di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Di halaman samping sekolah, Alex berdiri dengan tenang-sementara para siswa mulai beranjak ke kamar asrama masing-masing. Matanya menelusuri lapangan di hadapannya sampai akhirnya tertuju pada satu sosok.
Alex memperhatikan Arunika dari kejauhan. Ada sesuatu yang menarik tentang gadis itu—sikapnya yang acuh tak acuh dan tatapan matanya yang dingin. Seolah ada sesuatu dibalik itu semua.
Arunika duduk di bangku taman dengan sebuah buku yang terbuka di hadapannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan adik perempuannya melalui buku itu. Arunika berharap bisa melupakan sejenak kegelisahan yang selalu menyertainya sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
Dia bisa merasakan pelupuk matanya mulai basah saat membaca isi buku itu. Namun, saat air matanya hampir saja menetes, dia mendengar langkah kaki mendekat. Arunika cepat-cepat menutup buku itu, menghapus air mata yang belum sempat jatuh dan menoleh ke arah sumber suara.
Alex berdiri tak jauh darinya. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk tempat kosong di sebelah Arunika.
Arunika mengangguk tanpa berkata apa-apa. Alex duduk dan sejenak keduanya terdiam-hanya ditemani oleh suara angin yang menghembus pelan, sementara pandangan mereka tertuju ke depan.
"Apa kau sering belajar di sini?" tanya Alex akhirnya, mencoba memecahkan kebekuan.
"Aku tidak sedang belajar."
"Lalu buku apa itu?" Alex menunjuk singkat pada buku di atas meja batu.
Melihat Arunika yang diam tak menjawab, Alex kembali bertanya, "Ah, itu rahasia ya?"
Arunika diam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, "Semua orang punya rahasia mereka sendiri."
Alex mengangguk setuju. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi sejak pertama kali melihatmu, aku rasa kau sedikit berbeda dengan yang lainnya," lanjut Alex sambil menoleh pada Arunika.
Arunika menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau tak tahu apa-apa tentangku," jawabnya dingin.
"Mungkin tidak. Tapi aku ingin mencoba untuk memahami." Alex tersenyum tipis dan melanjutkan, "Arunika, aku mengerti kalau mungkin kita belum akrab, tapi aku berharap kita bisa saling mendukung di sini. Aku tahu hidup di sekolah ini tidak mudah, terutama tekanan untuk mempertahankan posisi di sini."
Sejenak, keduanya terdiam lagi. Arunika memalingkan wajahnya dan beranjak dari tempat duduknya sambil membawa buku itu bersamanya.
"Aku harus kembali ke asrama," katanya singkat tanpa menatap Alex.
Alex hanya bisa mengangguk. "Tentu, sampai jumpa, Arunika."
Arunika mengangguk kecil sebelum melangkah pergi, meninggalkan Alex sendirian di bangku taman. Alex menatap punggungnya yang semakin menjauh dan tak lama kemudian, Alex berdiri dan berjalan menuju asramanya.
°°°
Arunika membuka pintu memasuki kamarnya di asrama putri. Dia membuka jendela dan membiarkan angin malam masuk, merasakan kesejukan yang menenangkan. Dia menghela napas panjang dan duduk di tepi ranjangnya. Ada sesuatu tentang kehadiran Alex yang membuat Arunika merasa sedikit terbuka-meski ia tak ingin mengakuinya.
"Aku harus fokus pada tujuanku," bisik Arunika pada diri sendiri. "Aku... harus bisa menemukan adikku."
Arunika menatap keluar jendela, pikirannya memutar kembali ingatan tentang adiknya. Ia ingat dengan jelas saat terakhir kali melihat adiknya, senyum ceria yang kini hanya tinggal kenangan.
Dan itu semua terjadi, ia yakini karena sekolah ini.
Di tempat lain, Alex berada di kamarnya di asrama putra. Dia duduk di meja belajarnya, mengeluarkan kamera tersembunyi yang dipasang diantara kancing bajunya oleh Luna sebelum Alex memasuki sekolah ini. Matanya terpaku pada kamera kecil di tangannya, jari-jarinya menyentuhnya dengan hati-hati.
Alex memasukkan kamera kecil itu ke dalam kotak dan menyimpannya di laci meja. Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama, dia merebahkan tubuhnya di atas kasur.
●○●○●○●○
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcanum Academy
Mystery / ThrillerDi tengah desa terpencil, Arcanum Academy berdiri megah sebagai sekolah eksklusif yang terpisah antara murid dari kalangan atas dan murid penerima beasiswa. Ketika seorang siswi beasiswa menghilang, Alex, seorang detektif muda yang baru dipindahkan...