11. Pameran Seni

78 37 70
                                    

.・゜゜・.・゜゜・

Tok Tok Tok



"Arunika? Kenapa kau ke sini?" tanya Alex dengan berbisik. Dia segera menarik tangan gadis itu ke dalam kamarnya sebelum ada yang melihat.

"Aku harus bicara denganmu, ini penting," jawab Arunika dengan berbisik. "Aku lupa mengatakan ini di sekolah."


Alex menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang mendengar mereka. "Apa yang terjadi?"

Arunika menatap Alex dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Tadi siang Kak Lionel menemuiku. Katanya pameran seni tetap akan dilaksanakan, meskipun Vina... meskipun semua yang terjadi."

Alex mengerutkan kening. "Pameran seni? Di tengah semua kekacauan ini?"

"Ya. Karena itu aku ke sini untuk mengajakmu. Aku akan bersiap-siap untuk pameran itu dan kita tak akan punya banyak waktu. Sebaiknya kita pergi ke ruangan arsip sekarang."

Alex menggeleng pelan, melipat tangan di dadanya. "Aku mengerti kau ingin segera menyelesaikan semua ini, tapi pergi ke sana sekarang terlalu berisiko. Bahkan dengan kau datang ke sini juga perbuatan yang ceroboh, Arunika."

"Tapi apa salahnya jika kita mencoba dulu malam ini?"

"Kita belum mempersiapkan apapun dan aku akan mengambil tindakan sebelum memikirkan rencana dengan matang. Aku tahu kau cemas, tapi kau tetap tak boleh berbuat sesukamu. Yang kita butuhkan adalah kesempatan dan timing."

Alex berjalan mendekati jendela kamarnya dan menatap ke luar. "Menunggu hingga pameran seni mungkin tak begitu buruk. Banyak orang akan berada di sana, dan perhatian mereka akan teralihkan. Itu kesempatan yang bisa kita gunakan."

Arunika menghela napas. "Oke, jadi apa yang harus dipersiapkan?"

Alex berpaling dari jendela dan menatap Arunika dengan serius. "Kita menyusun rencana. Pertama, pastikan kita memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk memasuki ruangan arsip. Tapi kau sudah menduplikat kuncinya, bukan?"


Arunika hanya membalas dengan anggukan.


"Kedua, kita butuh alibi dan cara untuk menghindari perhatian saat hendak ke ruangan itu."

"Bagaimana kalau kita mengajak teman Kak Lionel?" tanya Arunika. "Maksudku, mungkin aku bisa berkata jujur padanya dan dia pasti akan memban-"

Alex memotong dengan lembut, "Aku tidak yakin itu ide yang baik. Lionel, dia tidak bisa dipercaya sepenuhnya."

"Kenapa kau bilang begitu? Dia adalah orang yang baik, dia juga ketua OSIS. Jika dia membantu, kita bisa melakukannya lebih mudah."

Alex menghela napas. "Justru itu. Lionel memiliki posisi tinggi dan terlalu dekat dengan Bu Diana. Dia mungkin bisa membantu, tapi dia juga bisa menjadi penghalang jika dia tak memihak kita. Aku lebih percaya pada Reza, dia anak yang polos dan bisa menjadi alibi kita. Aku bisa mengarang cerita nanti."

Arunika terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Alex. Meski Arunika ingin percaya bahwa Lionel bisa menjadi sekutu yang baik, dia juga tahu bahwa Alex memiliki insting yang kuat dalam hal ini.

"Baiklah," akhirnya dia berkata dengan nada enggan.

"Sementara itu, untuk beberapa hari ke depan kau bisa fokus pada persiapan pameran dan cari tahu lebih banyak tentang jadwal kegiatan di hari itu."

Arunika mengangguk pelan, masih terlihat ragu. "Aku akan melakukannya. Aku hanya berharap semuanya berjalan lancar dan kita bisa menemukan jawaban yang kita cari."

"Kita akan menemukannya," jawab Alex dengan keyakinan.


Arunika memandang Alex sejenak, merasa lega karena sekarang ia memiliki seseorang yang bisa dia percaya dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini.


"Aku akan melakukan yang terbaik. Terima kasih, Alex."

Alex tersenyum tipis. "Sama-sama. Sekarang kita adalah tim, ingat?"

Arunika tersenyum balik, meski masih ada kekhawatiran di matanya. "Tim," ulangnya pelan.

°°°


Beberapa hari telah berlalu.

Kini acara pameran seni akhirnya terlaksana. Sekolah dipenuhi dengan berbagai karya seni yang dipajang di aula besar. Para siswa berlalu-lalang, berusaha menunjukkan antusiasme, meski sebagian dari mereka masih terguncang oleh kejadian yang menimpa Vina.

Arunika berdiri di depan salah satu lukisan miliknya yang dipajang. Meski matanya terarah pada lukisan itu, namun pikirannya kosong.

Dia masih merasa tegang, terutama karena 'tugas' yang menantinya hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dia masih merasa tegang, terutama karena 'tugas' yang menantinya hari ini.

Di sudut lain, ada Alex yang juga sedang waspada, meski berusaha tampak santai. Reza terlihat di sampingnya. Kebohongan yang diceritakan Alex sudah cukup untuk membuat Reza percaya bahwa mereka hanya melakukan sesuatu yang 'tidak berbahaya.' Reza, meskipun tidak sepenuhnya tahu apa yang terjadi, sudah setuju untuk menjadi alibi mereka.

Lionel, yang tampak percaya diri dengan senyum ramahnya, berjalan di antara para siswa dan guru, memastikan semuanya berjalan lancar.

Sekilas, dia bertukar pandang dengan Arunika, memberikan anggukan kecil yang mengisyaratkan bahwa dia ada di sana jika Arunika membutuhkan sesuatu. Arunika merasakan sedikit dorongan semangat, tetapi kata-kata Alex beberapa hari yang lalu masih terngiang di telinganya: "Lionel memiliki posisi tinggi dan terlalu dekat dengan Bu Diana. Kita harus berhati-hati."



Arunika menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya di tengah keramaian pameran seni yang seolah tak mempedulikan kekacauan yang dirasakannya.

Alex melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikannya sebelum ia berjalan pelan menuju Arunika. "Ini saatnya," bisiknya dengan tenang.

●○●○●○●○

Arcanum AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang