14. The Midnight Enigma

67 28 60
                                    

.・゜゜・.・゜゜・


"Arnika!"

Deg!

Langkah kaki Arunika langsung terhenti begitu ia mendengar suara yang tidak asing memanggil namanya.

Untung saja ia mengenakan jaket. Dengan cepat Arunika memasukkan alat-alat yang diberikan Luna ke saku jaketnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha terlihat tenang meskipun pikirannya kacau.

Ketika Arunika berbalik, ia melihat Lionel berjalan menghampirinya. Sudah ia duga, itu adalah Lionel. Bagaimana bisa Lionel ada di sini, di saat yang begitu penting? Padahal, dia seharusnya sudah menyembunyikan alat-alat itu dan kembali ke kamarnya tanpa gangguan.

Ia memaksakan senyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Kak Lionel," sapa Arunika datar, berusaha mengendalikan suaranya.

Lionel menghentikan langkahnya tepat di depannya. "Sudah kuduga aku akan menemukanmu di sini," ujarnya sambil tersenyum.

Arunika menghela napas perlahan, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Aku hanya butuh udara segar," jawabnya pelan sambil memalingkan wajah.

"Selalu saja begitu. Apa kau memang tidak pernah keluar dari lingkungan ini, Arunika?"

Kepala Arunika kini terangkat, kembali menatap Lionel yang tingginya kurang lebih seratus tujuh puluh sentimeter. Gadis itu hanya diam.

"Kurasa aku benar..." gumam Lionel. Dia lalu menatap ke sekeliling mereka sebelum memusatkan perhatian pada Arunika. "Kau tahu, aku bisa menemanimu setiap Minggu. Kita bisa berkeliling desa dan–"

"Aku sudah biasa sendirian, Kak Lionel. Aku lebih suka," ujar Arunika memotong kalimat Lionel dengan cepat. Suaranya tetap datar meski sebenarnya hatinya mulai terasa gelisah.

Lionel terdiam sejenak, tampak terkejut dengan perubahan sikap Arunika yang tidak biasa. Namun kemudian ia tersenyum tipis.

"Kau memang selalu seperti itu, ya?" Lionel berkata dengan nada lembut, namun ada sedikit kegetiran di balik suaranya. "Selalu ingin mengurus semuanya sendiri, selalu merasa cukup dengan dirimu sendiri."

Arunika hanya diam, tidak ingin terjebak dalam percakapan yang lebih dalam. Dia menggigit bibirnya, merasakan ketegangan menyelimuti dirinya.

Di satu sisi, ia ingin segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke kamar tanpa gangguan. Di sisi lain, Lionel tampaknya tidak akan menyerah begitu saja. Dia harus mencari cara untuk mengakhiri percakapan ini tanpa menimbulkan kecurigaan lebih lanjut.

"Apa aku berbuat salah, Arunika?" tanyanya tiba-tiba, membuat Arunika tersentak.

"Tidak," jawab Arunika cepat — sedikit terlalu cepat. "Aku hanya..." Dia lagi-lagi diam sesaat. "Aku masih mencemaskan Vina."

Mendengar nama Vina disebut, ekspresi Lionel sedikit berubah. Seolah-olah ada sesuatu yang tersentuh dalam dirinya, namun dengan cepat ia menyembunyikannya di balik senyum yang lebih tenang.

"Aku mengerti," katanya pelan. "Kau pasti masih terpukul. Apa kau mau menjenguknya di rumah sakit?"

Arunika menelan salivanya, mencoba mengatasi gelombang emosi yang tiba-tiba menyerangnya. Nama Vina membuat dadanya terasa berat.

Arcanum AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang