12. Ruang Arsip

86 44 144
                                    

.・゜゜・.・゜゜・

Sesampainya di depan pintu ruang arsip, Arunika merasakan detak jantungnya berpacu semakin cepat. Dia mengeluarkan duplikat kunci dari saku bajunya dan dengan hati-hati memasukkannya ke lubang kunci. Dengan sedikit getaran, dia memutar kunci tersebut.


Cklek


"Tidak mungkin," bisiknya saat mendengar bunyi klik yang lembut.

Pintu ruang arsip terbuka dengan suara lembut, dan Arunika serta Alex segera melangkah masuk. Di dalam, suasana terasa lebih dingin dan sunyi, seolah-olah waktu berhenti di tempat itu. Rak-rak tinggi yang dipenuhi dengan map dan dokumen tua menciptakan bayang-bayang aneh di bawah cahaya redup dari jendela kecil di sudut ruangan.

Alex dengan cepat menutup pintu di belakang mereka, memastikan tidak ada yang akan melihat atau mendengar mereka.

"Kita harus cepat," bisiknya sambil melihat sekeliling. "Kita tidak tahu berapa lama kita punya waktu sebelum ada yang curiga."

Arunika mengangguk, menatap rak-rak yang berjejer di depannya. "Kita mulai mencari. Fokus pada dokumen yang berkaitan dengan Silvia dan tahun dia menghilang."


Mereka mulai bekerja dengan cepat, membuka setiap map yang terlihat mencurigakan dan memeriksa isinya. Arunika merasa gugup, tangannya sedikit gemetar saat ia membuka map demi map.  Matanya bergerak cepat dari satu dokumen ke dokumen lainnya, mencari nama, tanggal, atau informasi apa pun.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Arunika tiba-tiba menghentikan pencariannya. "Alex, tidak ada apa pun di sini." Dia menatap Alex dengan frustasi yang jelas terpancar di wajahnya. "Semuanya hanya berkas biasa."

"Jangan panik. Pasti ada cara lain untuk menemukan apa yang kita cari. Kita harus tetap tenang."

"Tapi semuanya terlihat terlalu sempurna untuk kejadian gila ini..." Arunika berjongkok dan mulai menangis.

Alex segera mendekat, berlutut di samping Arunika. Dia meletakkan tangan dengan lembut di bahunya. "Hei, jangan menyerah sekarang. Arunika, kita akan menemukan jawabannya."

Arunika mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya, mencoba menenangkan diri. "Tapi bagaimana kalau semua ini sia-sia? Bagaimana kalau aku benar-benar tidak bisa menemukan apapun tentang adikku?"

Alex menatap Arunika dengan penuh empati, merasakan beban yang ditanggung gadis itu. "Arunika, kita sudah sampai sejauh ini. Kalau pun kita tidak menemukan apa-apa di sini, itu bukan berarti semua usaha kita sia-sia. Setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat pada kebenaran, meskipun itu hanya mengeliminasi kemungkinan."

Arunika menunduk, menguatkan dirinya, tapi masih merasa ragu. "Tapi aku merasa seperti mengejar bayangan."

Alex mengangkat dagu Arunika menggunakan telunjuknya dengan lembut, memastikan gadis itu melihat ke dalam matanya. "Bayangan hanya ada karena ada cahaya, Arunika. Dan meskipun kita merasa tersesat dalam kegelapan, setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat pada sumber cahaya itu—pada kebenaran."

Arunika mencoba menenangkan dirinya. Ria mengambil napas dalam. "Semua yang ada di sini, seolah semua hal yang bisa dijadikan petunjuk sudah disingkirkan."

Alex memikirkan kemungkinan itu dan kemudian menatap Arunika. "Kalau itu memang terjadi, maka... kita akan memeriksa ruangan Bu Diana."

"Ruangan Bu Diana...," Arunika bergumam pelan. "Kenapa?"

"Karena hanya dia yang punya akses penuh ke semua informasi, dan jika ada sesuatu yang disembunyikan, kemungkinan besar itu ada di ruangannya. Kita tak menemukan apa-apa di sini karena hal yang kita cari mungkin sudah dipindahkan."

Arcanum AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang