.・゜゜・.・゜゜・
Keesokan harinya, di jam istirahat, Arunika dan Alex bertemu di taman sekolah yang jarang dikunjung.
"Arunika, sebelum kita mulai, aku butuh kau untuk menceritakan lebih banyak tentang Silvia. Mungkin ada sesuatu yang kau lewatkan atau tak kau sadari waktu itu, yang bisa memberi kita petunjuk," kata Alex sambil menatap Arunika dengan serius.
Arunika menghela napas, kemudian mulai bercerita dengan pelan. "Silvia adalah orang yang ceria dan penuh semangat. Tapi beberapa minggu sebelum dia menghilang, dia sedikit berubah."
"Berubah?"
"Iya. Biasanya setiap Minggu dia akan menemuiku dan memberi buku diary-nya untuk kubaca. Tapi waktu itu, di bukunya ada halaman yang sobek dan minggu berikutnya dia tak lagi menemuiku."
Alex manggut-manggut. "Halaman yang sobek? Apa kau ingat apa yang ditulisnya di halaman sebelum itu?"
"Dia menulis tentang hari-harinya di sekolah seperti biasa. Tidak ada yang aneh, hanya cerita tentang pelajaran, teman-temannya, dan beberapa hal kecil yang dia alami. Tapi... aku ingat dia menulis sesuatu tentang seorang guru dan program belajar di Thailand, tapi bacaannya terpotong karena halaman yang sobek itu."
"Itu bisa jadi petunjuk penting," kata Alex pelan. "Apa kau tahu siapa guru yang dia sebutkan?"
Arunika menggeleng pelan. "Tapi aku rasa ini ada hubungannya dengan Vina. Karena waktu itu Vina pernah bilang dia sebenarnya dipilih untuk belajar ke Thailand, tapi kesempatan itu direbut seseorang. Aku rasa itu Silvia. Aku tak mengerti kenapa Silvia melakukan hal itu, maksudku untuk apa? Aku yakin sebenarnya dia tak tertarik dengan program itu."
"Silvia mungkin merasa terpaksa atau ada alasan lain yang membuatnya mengambil kesempatan itu. Mungkin ada tekanan dari seseorang atau ada sesuatu yang terjadi."
"Sejak Silvia tak lagi mengunjungiku, aku melaporkan kehilangannya, dan meski sangat terlambat akhirnya ada detektif yang dikirim ke sini. Teman sekelasnya juga kelihatannya tak akrab dengan Silvia terutama sejak mereka tahu dia merebut kesempatan Vina, temannya sendiri."
"Omong-omong, kenapa kau bisa masuk ke kelas sebelas?"
Arunika menghela napas, merasa tertekan oleh pertanyaan itu. "Sebenarnya, aku sengaja meminta masuk ke kelas sebelas dengan alasan karena aku pindahan. Aku datang ke sini setelah Silvia menghilang, dan masuk ke kelas yang sama dengannya untuk mencari tahu."
"Bagaimana dengan ijin? Apa dia pernah meminta ijin untuk ke mengikuti program studi ke Thailand itu?"
"Pihak sekolah memberi tahu kakek kami bahwa dia sudah pergi ke Thailand, tapi aku tahu itu bukan Silvia. Dia tidak akan pergi begitu saja tanpa pamit padaku. Oh, satu lagi. Mereka tidak tau kalau aku kakak Silvia, karena KK kami berbeda dan kami juga dirawat terpisah sejak orang tua kami bercerai."
"Bagaimana dengan Vina? Apa kau sempat bicara dengannya tentang adikmu?"
"Belum. Tadinya aku ingin memeriksa kamar Vina, tapi kunci sudah dipegang bu Diana."
"Tak masalah, kita akan cari cara lain. Tapi kita harus sangat hati-hati. Siapa pun yang mendorong Vina mungkin tak akan segan melakukannya lagi."
Arunika mengangguk, wajahnya serius. "Aku tahu. Aku lupa memberi tahu satu hal lagi. Waktu itu, aku berhasil membuat duplikat kunci ruang penyimpanan arsip."
"Jadi malam itu kau pergi ke sana karena itu?"
"Ya, Detektif. Aku pergi untuk mencari informasi tentang Silvia."
"Kalau begitu, kita harus masuk ke sana lagi, dengan lebih hati-hati kali ini," ujar Alex sambil berpikir. "Mungkin ada dokumen atau file yang bisa memberi kita petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Silvia."
Alex melirik Arunika sesaat, lalu berkata, "Alex."
Arunika menaikkan kedua alisnya.
"Nama asliku Alex," ungkap Alex. "Bukan Arga. Dan kau tak perlu memanggilku dengan panggilan Detektif."
"Tapi aku lebih nyam—"
Alex memotong Arunika sebelum ia sempat selesai bicara.
"Jika ada yang mendengar itu bisa menjadi kehancuran bagi kita. Jadi tetaplah memanggilku dengan nama samaranku, Arga."
Arunika diam sejenak. Lalu menjawab dengan suaranya yang pelan, "Baiklah, Arga."
°°°
"Arunika," panggil seseorang yang membuat Arunika menoleh."Kak Lionel?"
Lionel tersenyum lembut dan mendekati Arunika. "Kau ada di sini. Aku baru saja ingin mencari kamu. Ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu."
"Oh, benarkah? Aku tak tahu kalau hari ini ada rapat—"
"Bukan. Hari ini memang tidak ada rapat. Aku hanya mau bicara sebentar."
"Kalau begitu..." Arunika menatap kursi di sebelahnya—kursi kosong yang seharusnya diduduki oleh Vina. "Duduklah di sini."
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Lionel setelah ia duduk. "Aku mendengar tentang Vina. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja."
Arunika memaksakan senyum dan mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih."
"Aku tahu ini waktu yang sulit untukmu, dan aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untuk mendukungmu jika kamu butuh seseorang untuk berbicara." Lionel diam sesaat sebelum melanjutkan. "Tapi Arunika, kita tak bisa berlarut. Kita perlu mencairkan suasana di sekolah ini, dan pameran seni pasti akan membantu."
Arunika segera menoleh dengan kerutan di dahinya. "Apa maksudmu? Kak Lionel... apa kau mau bilang bahwa pameran seni tetap akan dilaksanakan meski setelah kejadian kemarin?"
Lionel menunduk sebentar, sebelum kembali menatapnya. "Iya dan itu juga atas perintah bu Diana."
"Banyak dari kami masih terkejut dengan apa yang terjadi. Bukankah lebih baik memberi waktu untuk memproses perasaan kami?"
"Dengar, Arunika, pameran seni ini bisa menjadi cara untuk menjaga semangat dan ketenangan di sekolah. Jika kita menunda atau membatalkannya, itu bisa membuat suasana semakin tegang dan penuh ketakutan. Ini bukan soal mengabaikan apa yang terjadi, tapi lebih pada mencoba menjaga stabilitas dan memberikan ruang bagi semua orang untuk tetap merasa aman."
Arunika terdiam, mencoba mencerna kata-kata Lionel. Dia bisa melihat logika di balik keputusan itu, meski hatinya masih merasa ragu. "Tapi apa itu benar-benar akan membantu? Aku hanya tidak ingin semua ini tampak seolah-olah kita tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Vina."
"Semuanya akan baik-baik saja, yakinlah. Besok aku harap kau bisa membawa lukisan yang hendak kau pajang."
"Baiklah..." Arunika mengangguk dengan enggan. "Aku akan membawa lukisanku besok."
●○●○●○●○
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcanum Academy
Mystery / ThrillerDi tengah desa terpencil, Arcanum Academy berdiri megah sebagai sekolah eksklusif yang terpisah antara murid dari kalangan atas dan murid penerima beasiswa. Ketika seorang siswi beasiswa menghilang, Alex, seorang detektif muda yang baru dipindahkan...