DUA

58 8 22
                                    

Heeseung baru saja usai memarkirkan mobil yang digunakannya di halaman depan rumah. Di teras rumah, sudah ada Riki yang tampak berdiri bosan dekat pilar besar.

"Papa pulang, Dedek menunggu lama?" sapa Heeseung. Putranya yang baru berusia 4 tahun itu memandang Papanya tanpa minat.

Heeseung duduk di teras dekat dengan tempat bocah 4 tahun itu berdiri dengan beraidekap dada. Sangat amat serius, kelihatannya.

Heeseung melepas jaket yang sebelumnya dikenakan, di simpan ke atas tas yang disimpan pada kursi santai di teras tersebut.

"Kenapa Sayang? Dedek marah? Papa terlalu lama, ya?" tanya Heeseung. Riki hanya melirik dengan ekor matanya, entah kenapa Heeseung merasa deja vu kepada seseorang.

"Ayo, sudah sore, kita harus masuk," ajak Heeseung. Tubuhnya diseret mendekat pada posisi berdiri Riki. Tangannya sudah direntangkan, menanti tubuh mungil putranya masuk.

Anak itu tampak kesal, menghentak-hentakkan kakinya pelan. Barulah kemudian balas menatap sorot mata Papanya yang kebingungan.

"Iki ndak tunggu Papa, Iki tunggu Mama!" pekik bocah 4 tahun itu, sebal.

Tidak memperdulikan tubuh kaku Papanya sendiri, tidak tahu saja, Heeseung lagi-lagi merasakan sengatan listrik pada nadinya.

Mama yang dimaksud jelas adalah Rei.

Harusnya Heeseung sama sekali tidak terkejut, ini adalah rutinitas Riki hampir setiap sore hari di teras rumah. Ibu Heeseung sudah lelah membujuk, sehingga membiarkan anak itu melakukan apa yang ingin dilakukan.

"Mama gak pulang hari ini," terang Heeseung. Atau mungkin memang tidak akan pernah pulang.

"Terus kapan?" Sudah pintar banyak bertanya ternyata si Lee kecil ini.

"Nanti," jawab Heeseung, tidak pasti, tanpa keyakinan.

Karena bukan hanya Riki yang ingin 'Mamanya' pulang, Heeseung juga ingin Rei-nya kembali.

"Kapan? Papa bilang, Mama bakal pulang sore. Iki terus tunggu setiap sore, tapi Mama ndak pernah pulang sampai hari ini!" sebal Riki, nada bicara bayi itu sarat akan tuntutan.

"Papa juga gak tahu Mama pulangnya kapan, Sayang," bujuk Heeseung. "Sekarang, kita masuk dulu saja, ya? Sudah sore, gak bagus buat kesehatan Dedek, ok?"

Bocah itu menggeleng keras, mundur dari jangkauan sang Papa. Riki berlari ke halaman menuju gerbang yang untungnya sudah ditutup, tanpa alas kaki.

Heeseung mengesampingkan rasa lelahnya, memilih mengejar bocah super aktif dengan keinginan tahuan yang harus segera diberi penerangan itu.

Dengan sedikit paksaan, menggendong tubuh mungil nan berisi milik putranya. Meski sekarang kuping Heeseung berdengung karena teriakkan brutal Riki yang mengamuk minta diturunkan.

"Mama!"

"Mau Mama!"

"Awas!"

"Papa awas!

"Iki mau turun!"

Dan teriakan-teriakan lainnya dari bocah bulat berusia 4 tahun itu bagaikan agenda harian yang dianggap angin lalu para tetangga.

Terlampau terbiasa.

Terkadang, tetangga paling dekat yang merupakan janda tiga perempat abad akan menghampiri Riki yang berdiri memegangi pagar yang terkunci.

Memberi pengertian seolah Riki adalah cucunya, dan Mama si bocah adalah putrinya yang pergi jauh.

Bocah malang itu akan sangat berkaca-kaca ketika Nenek Sin mulai menepuk-nepuk kepalanya. Nenek Si tidak tahu cerita dibalik pagar kokok keluarga Lee. Yang dirinya tahu, Heeseung dan istrinya bercerai dan Riki ikut sang Papa.

Kilometer 40++ [S2 DTN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang