LIMA

47 8 9
                                    

Heeseung memandang lama pekarangan sebuah rumah sederhana di tengah hiruk-pikuk bangunan-bangunan tinggi kota Berlin di depan matanya.

Yang menurut arahan pihak kepolisian merupakan rumah tempat tinggal milik Rei selama tiga tahun ini.

Rei setuju untuk pulang ke Jakarta, bersamanya.

"Aku mau. Aku mau ikut Kakak pulang ke Jakarta. Aku mau ketemu Ibu, benar kata Kakak, sekali pun aku datang ke sini atas keinginanku, tetapi sekarang, dengan keadaanku memang lebih baik berada di dekat orang-orang yang juga mengenalku.."

Karena persetujuan itulah, keduanya di antar ke rumah tinggal Rei, guna mengambil dokumen-dokumen persyaratan demi bisa terbang kembali ke negara mereka.

Semua diurus Heeseung, tidak, maksudnya Heeseung meminta sahabatnya mengurus kepulangan pria itu dan sang mantan istri.

Heeseung masih sibuk memerhatikan sekitar, tanpa sadar dirinya sudah mulai masuk ke dalam rumah milik Rei. Perempuan itu sendiri tidak jauh berbeda, sibuk berkeliling dan mencoba mengenali setiap sudut tempat tinggalnya sendiri.

Rumah ini tidak terlalu luas. Hanya berisi satu ruangan yang mencakup dapur dan ruang makan, lalu sofa tempat menonton televisi semua di biarkan menyatu.

Dan satu ruang tertutup adalah kamar tidur Rei beserta dilengkapi kamar mandi dalam. Di dekat dapur juga ada kamar mandi kecil.

Mungkin selama di sini, Rei tidak pernah mencuci sendiri, dilihat dari tidak adanya mesin cuci atau perlengkapan mencuci apapun.

Pemalas, kiranya.

"Duduk dulu Kak," titah Rei, pada Heeseung yang ternyata sudah berhenti menelisik sekelilingnya. Yang dilakukan pria itu justru hanya memandang lama perempuan di sebelahnya.

Heeseung mengangguk tanpa bantahan. Di sofa warna krem yang sedikit berdebu, efek ditinggalkan lebih dari dua minggu oleh pemiliknya.

"Aku gak yakin masih ada minuman atau camilan, kalau pun ada, kemungkinan sudah basi. Jadi, maaf ya Kak, kalau gak dijamu dengan baik olehku," sesal Rei.

Perempuan itu, masih saja seperti dahulu.

Heeseung tersenyum maklum. "Bukan masalah besar, sudah sana, beres-beres apa yang mau dibawa, jangan sampai ada dokumen atau barang penting yang gak kebawa loh ya, kita belum tentu ke sini lagi," suruh Heeseung.

Rei mengangguk.

Syukurlah, si Nyonya Naoi Rei ini sudah membayar sewa rumah sampai tiga bulan ke depan. Sehingga, sekali pun tidak sempat dibersihkan, rumah ini masih bisa menggunakan akses listrik.

Rei memasuki kamarnya, aroma asing yang masuk ke rongga hidungnya menggelitik ingatan perempuan itu samar-samar.

Aroma parfum laki-laki.

Mengabaikan apa yang tidak kunjung ada kejelasannya. Rei segera membuka-buka lemari yang ada di sana. Mengeluarkan seluruh dokumen yang dirinya bawa dan miliki, Rei akan membawa semua itu.

Siapa tahu penting.

Meski isinya jelas adalah salinan dari dokumen-dokumen yang mungkin saja berkas aslinya ada di rumahnya di Jakarta.

Rei kembali bersyukur karena semua pakaian yang dimiliki si Nyonya Naoi muda ini tidak terlalu banyak.

Perempuan 30 tahun itu menghabiskan hampir dua jam untuk menata dan merapihkan barang bawaannya ke dalam dua koper ukuran sedang, kemudian satu tote bag besar, dan tas kecil.

Dompetnya kembali dengan utuh, tetapi tidak dengan benda terpenting abad ini, ponselnya ditemukan remuk di TKP.

Sialan betul.

Kilometer 40++ [S2 DTN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang