SEBELAS

41 7 3
                                    

Rei tengah duduk santai di balkon rumah yang terdapat di luar kamarnya sendiri. Membaca sebuah novel keenam dari tumpukan novel yang katanya milik perempuan itu yang diberikan Heeseung.

Waktu cepat berlalu, sudah satu bulan Rei berada di Jakarta. Di lingkungan yang harusnya sangat familiar, namun tidak. Rei selalu merasa asing untuk banyak tempat dan banyak kisah yang ditujukan serta diceritakan Heeseung.

Kegiatan Rei tidak banyak, paling pagi-pagi dia akan dijemput Heeseung untuk ikut serta mengantar Riki ke sekolahnya. Jika Rei ingin, dia akan ikut ke kantor, jika tidak dia akan meminta Heeseung mengantarkannya pulang kembali.

Di siang hari, secara bergantian dia akan menjemput Riki ke sekolah di siang hari -menggunakan jasa taxi online- dan membawa bocah itu ke rumahnya. Baru di sore hari, Heeseung akan datang menjemput anak itu.

Beserta drama tidak ingin berpisah dari Rei, yang dilakukan oleh si bocah gembul.

Ibu Rei menyambut baik kehadiran Riki, karena dibeberapa hari libur ketika wanita itu berdiam diri di rumah Riki datang mengajak bermain Rei, dan malah ikut mengasuh cucunya.

Rei menutup novel yang sudah habis dibacanya seharian ini, meletakkan novel itu di atas pangkuannya. Perempuan itu menatap pemandangan sore kali ini dengan lebih serius.

Hari ini, Rei tidak ikut mengantar Riki, tidak juga mengambil jatah bergantian menjemput bocah itu. Semua karena tawaran Heeseung dua hari lalu, sehingga Rei meminta waktu untuk merenunginya lebih dulu.

"Kalau kamu mau, kamu bisa kok kerja lagi di sini. Ya, siapa tahu kamu lama-lama bosan gak ada kegiatan pasti." Adalah tawaran dari Heeseung ketika keduanya tengah makan siang di kantin yang terdapat di kantor mereka.

"Kerja? Sebagai apa? Bukannya gak ada lowongan?" heran Rei. Meski dalam hati, sedikit merasa tertarik.

Di percakapan waktu itu, Rei sudah tahu mengenai kepemilikan 80% saham perusahaan ReHLeey's, dengan diberitahu Jake. Rei sebetulnya sangat bingung, kenapa bisa sebanyak itu. Harusnya, keduanya miliki saham yang sama rata.

Jake juga tidak menjelaskan lebih lanjut, tetapi pria itu sudah menunjukkan bukti nyata.

Heeseung di hadapan Rei tampak sedikit gelagapan. Pertanda tawaran yang diberikan si Lee ini tidak direncanakan dengan matang.

"Mungkin buat back up Kakak? Kakak 'kan sekarang jauh lebih sering keluar. Entah buat ketemu relasi, atau buat konsultasi masalah mental Kakak. Taehyun dan Haruto kadang mengeluh, kalau mereka kewalahan. Bahkan dengan adanya Kak Yeonjun dan Kak Soobin, mereka gak banyak membantu karena bukan bidangnya," jelas Heeseung, setelah menemukan jawaban paling tepat.

Rei mengangguk, masih dengan menyuap makan siang yang dirinya pesan. "Tapi aku amnesia Kak Hee, mana bisa. Maksudnya, entah apa yang aku pelajari bertahun-tahun di sekolah dan kampus. Aku gak ingat seluk beluk kantor ini. Bukannya malah repotin?" Rei meragu.

"Kalau soal itu, gampang. Kamu bisa pelajari dasar-dasarnya saja dulu. Nanti Kakak kasih modul lengkapnya. Pelan-pelan saja Rei, ada Haruto dan Taehyun juga yang bakal bantu. Lagipula, tugas kita di kantor itu paling hanya last checker, atau kasih keputusan saja mana yang lebih baik buat ke depannya."

"Em, sama biar kita bisa awasi Riki bareng-bareng."

Kembali pada Rei yang kini memasuki kamar sang Ibu. Nyonya Naoi sedang tertidur di ranjang empuknya. Wanita itu mengeluh sakit kepala sejak makan malam, membuatnya tidak bisa berangkat ke kantor.

Rei duduk di tepi ranjang dimana Ibunya berbaring nyaman. Mencoba tidak menimbulkan suara apapun, tetapi tetap gagal, sang Ibu tetap terbangun. Hingga kini situasinya agak canggung.

Dengan Nyonya Naoi yang sudah bangkit, duduk bersandar pada kepala ranjang. Menatap penasaran kedatangan putrinya.

"Maaf karena ganggu waktu istirahat Ibu," sesal Rei. Serius, dia tidak bermaksud membangunkan Ibunya itu.

Nyonya Naoi menggeleng sembari tersenyum. Mencoba membuat putrinya tidak merasa bersalah. Dia sudah tidur cukup lama, pusing di kepalanya sudah mereda.

Sekarang, wanita ingin tahu apa yang mendasari putrinya datang kemari.

Sejak kedatangan Rei yang dibawa mendiang sang suami kurang lebih tiga puluh tahun lalu. Mungkin, setelah konflik besar yang menimpa Rei lah, dirinya mulai membuka diri.

Nyonya Naoi bukan tidak menyayangi Rei. Dia menyayanginya, sangat. Akan tetapi masih berat akan kehilangan Aeri -putri kandungan-, dan belum bisa membiasakan diri untuk kehadiran anggota baru.

Semua berjalan sebagaimana mestinya, Tuan Na yang begitu menyayangi Rei. Dan Nyonya Na yang berusa keras melunak.

Puncaknya, setelah kematian suaminya itu, Nyonya Naoi pikir, mereka hanya memiliki satu sama lain. Sehingga, dirinya tidak boleh membentengi diri setinggi dahulu.

"Bu, aku mau minta saran, kalau boleh," cicit Rei. Gaya bicara serta pergerakan kikuknya persis ketika perempuan itu masih kanak-kanak dan ingin sesuatu, namun tidak ada Ayahnya.

"Soal apa?" tanya Nyonya Naoi, nada bicaranya sangat lembut.

Rei memainkan jemarinya, gugup. "Kak Heeseung tawarin aku masuk kerja di kantor lagi, dua hari lalu. Sampai sekarang aku masih bingung," adunya.

Rei menatap sang Ibu yang juga balas menatapnya dengan lembut. Rei tidak ingat, apakah Ibunya memang setenang ini, selemah lembut ini, atau hanya karena usia yang mulai terus bertahan saja.

"Kamu bingungnya kenapa?" tanya sang Ibu.

Rei sempatkan menyodorkan gelas berisi air putih yang disimpan di meja kecil sebelah ranjang, saat melihat Ibunya batuk-batuk.

"Kak Heeseung gak salah, aku mungkin lama kelamaan bakal bosan karena gak ada kegiatan pasti. Sekarang mungkin aku senang-senang saja, tapi kalau terus kayak gini, jenuh juga. Tapi.." Rei menjeda kalimatnya cukup lama.

"Apa gak aneh satu kantor sama mantan suami, Bu?" tanya Rei.

Nyonya Naoi mengerti kebingungan yang dirasakan putrinya. "Tapi itu perusahaan yang kalian bangun berdua," jawabnya, tenang.

"Menurut Ibu, aku harus terima tawaran itu?" tanya Rei.

Nyonya Naoi menggeleng. "Enggak harus. Kalau mau, silahkan. Kalau kamu ragu, mending gak usah."

***

Maka, setelah diskusi singkat bersama sang Ibu, Rei menghubungi Heeseung untuk mengatakan keputusannya. Bahwa Rei menerima tawaran dari Heeseung.

Tentang kembali ikut terlibat secara langsung di perusahaan mereka. Heeseung terdengar sangat bersemangat di seberang sana setelah mendengarnya.

Heeseung sudah menjelaskan sedikit mengenai jam kerja yang akan dilakukan Rei. Tidak banyak, saking nyelenehnya jam kerja yang didapat Rei, perempuan itu sampai tertawa kencang.

Katanya, Rei boleh melakukan apapun. Apabila sedang ingin kerja, Rei bisa pergi ke pabrik dan ikut mengecek di gudang.

Jika Heeseung tidak ada di kantor, Rei boleh mengambil alih dengan dibantu Haruto atau Taehyun.

Jika Rei sedang tidak ingin melakukan apapun di kantor, maka tidak perlu.

Rei juga boleh-boleh saja menghabiskan waktu bersama Riki tanpa bekerja.

Ya, Heeseung hanya ingin Rei berada di kantor. Sisanya, suka-suka Rei saja. Terserah lah.

"Nanti set meja kerja kamu di sebelah Haruto, di luar ruangan Kakak, gapapa?"

"Aku mau semua barang-barang aku warna pink, ya Kak? Boleh?"


***
Please, kemarin-kemarin sibuk banget urusan dunia (duit), wkwk.

Semakin banyak kesempatan nih buat Heeseung (menurut pemikiran Heeseung). Kalau menurut La-ii sih, lain lagi.



























Bersambung...

Kilometer 40++ [S2 DTN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang