EMPAT BELAS

39 6 9
                                    

Rei memejamkan mata ketika sepasang telapak tangan menangkup wajahnya. Belum lagi kecupan singkat di pipi kanan dan kiri yang dirinya terima dari pria yang katanya baru mendarat tiga puluh menit lalu.

Jake, pria tiga puluh tahun yang menikmati pekerjaan mapan nya di Aussie itu mendekap erat tubuh mungil perempuan di hadapannya.

"Kak Hee bilang, kamu cuma pulang dua kali dalam satu tahun. Tapi kita baru ketemu dua minggu lalu Jake." Rei mengutarakan keheranannya.

Jake terkekeh, menjauhkan sedikit wajahnya, namun masih dengan kedua lengan kekar yang membingkai pinggang terkasihnya. "Sebelum ini, aku gak punya alasan buat pulang. Orang tua menetap di sana, aku kerja di sana, ngapain 'kan bolak-balik dua minggu sekali tapi gak ada tujuan," balasnya.

"Jadi kamu harusnya selalu punya hari libur tiap dua minggu sekali?"

"Setiap minggu juga ada satu hari libur, tapi kalau pilih buat lembur, bonusnya lumayan. Terus setiap dua minggu sekali ada dua hari libur. Aku jarang ambil, sekalian saja ambil cuti dua minggu per enam bulan. Tapi sekarang 'kan, ada kamu di sini, tanpa status apapun sama siapa pun, ya kali aku sia-siain kesempatan," jelas Jake.

Secara refleks, Rei kembali menempelkan sisi wajahnya pada dada pria yang tidak bosan memeluknya ini. Alasan Jake terdengar manis, dan tentunya Rei sedikit tersipu.

Tidak Jake, tidak Haruto, senang sekali dua pria ini membuat jantung Rei tidak tenang.

Jake dan Rei tidak sedang berada di kantor tentunya. Sakali pun sudah pernah mengikrarkan ketertarikannya terhadap Rei kepada Heeseung, Jake belum ingin bersitegang dengan sang sepupu.

Ini hari sabtu, Rei masuk ke kantor setengah hari, hanya untuk mengecek stok barang dan mengontrol pesanan yang masuk. Setelah itu kembali pulang, dirinya juga tidak bertemu Riki, bocah itu pergi bermain bersama Ayah dan Ibu Heeseung entah kemana.

Baru saja sampai di depan pintu rumah, suara klakson sudah memanggil Rei untuk kembali berbalik. Keluarlah Jake dari dalam mobil hitam di depan pagar rumahnya.

Tanpa membuat rencana lebih dulu, Jake tetap berhasil membawa Rei masuk ke mobilnya untuk diajak pergi, entah kemana terserah pria itu saja.

Dan Rei cukup bersyukur karena tadi pagi memilih outfit yang baik, sehingga meski tidak berganti pakaian, apa yang dikenakan tidak membuat mood jalan-jalannya menjadi buruk.

"Kamu baru landing, gak capek? Gak mau istirahat dulu, isi energi?" tanya Rei.

Jake melirik singkat, kemudian menggeleng. "Kamu yang bikin energiku penuh lagi."

"Dih, gombal. Kita ini sudah kepala tiga, sudah gak cocok!" sebal Rei.

Dan Jake tentu lebih sebal. Bisa-bisanya fakta yang baru saja dikatakan olehnya dikira gombalan oleh Rei.

"Gak gombal ya, emang faktanya begitu!"

"Dih. Masa?"

"Bodo." Jake memalingkan wajah singkat, sembari menjulurkan lidahnya, meledek.

Pukulan tanpa tenaga dilayangkan Rei karena kesal. Rei sendiri yang bilang usia mereka sudah kepala tiga, tetapi lihat, tingkah lakunya lah yang tidak mencerminkan perempuan berumur tiga puluh sama sekali.

"Kamu mau bawa aku kemana emangnya?" tanya Rei, pasalnya sedari tiga puluh menit berkendara, mobil tidak kunjung berhenti. Dan Rei sedikit banyak sadar mereka melewati rute yang sama berulang kali.

Keduanya hanya terus berputar-putar di satu rute. Dasar Jake, pria aneh memang.

"Aku nemu satu cafe baru, dari luar sih kelihatannya lucu gitu. Mau coba ke sana?" tawar Jake.

Kilometer 40++ [S2 DTN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang