SEMBILAN

46 8 17
                                    

Jake baru tiba di Jakarta tiga hari lalu, setelah akhirnya pengajuan cutinya di setujui atasan. Hari ini, pria bertubuh kekar itu menawarkan diri untuk menjemput bocah bulat kesayangan semua orang, Lee Riki.

Terakhir kali bertemu adalah enam bulan lalu, dam bocah ini betul-betul semakin bulat dan berat. Seperti yang dibanggakan oleh Neneknya.

Mulanya, Jake ingin menemui Heeseung sejak hari kedatangannya. Namun, setelah mengabari Ibu pria itu, Heeseung sedang tidak ada di rumah katanya.

Jake sih, bukan orang yang terlalu ingin tahu menahu mengenai urusan orang lain. Sehingga, dibanding bertanya kemana perginya Heeseung atau ada urusan apa Heeseung, dia lebih memilih menunda pertemuan itu.

Dan ya, selain dari berat badan Riki yang semakin fantastis untuk anak seusianya. Jake mendapatkan kejutan lain, yakni keberadaan Rei di kantor milik perempuan itu yang dibangun bersama Heeseung.

Rei berdiri di depan matanya.

Dengan penampilan yang lumayan berbeda, tetapi tetap mudah dikenali.

Jake mengepalkan tangannya ketika melihat Heeseung menjawab kebingungan Rei dengan kebohongan besar.

"Anak kita?"

"Anak kita."

Sekalipun rasa rindu tengah meletup-letup di dalam dadanya. Jake pilih mengabaikan dulu perihal hatinya. Yang terpenting kini adalah menarik tangan sepupunya menuju ruang kerja milik pria itu sendiri, tanpa memberi kesempatan berbalik, sehingga Heeseung berjalan mundur.

Haruto yang melihat itu kebingungan, namun tidak ingin banyak ikut campur.

Meninggalkan Rei yang sudah balas mendekap tubuh kecil putranya. Keduanya sama-sama berderai air mata.

"Mama kemana saja? Iki kangen!"

Menjadi kalimat terakhir yang terdengar oleh telinga Heeseung sebelum pintu ditutup Jake. Dengan wajah lingkung yang amat sangat ingin dipukul Jake, Heeseung menatap kesal sepupunya itu.

"Lo apa-apaan?" tanya Heeseung, kesal.

Pria tinggi, kurus, itu mencoba menghalau tubuh kekar Jake. Berniat meninggalkan ruangan dan kembali berkumpul dengan keluarga bahagianya.

"Lo yang apa-apaan Lee Heeseung?!" sentak Jake.

Heeseung tampak kebingungan di tempat ia berdiri. Siapa yang apa-apaan sebenarnya?

"Kenapa Rei tiba-tiba ada di sini? Terus tadi, kenapa lo bohong, ngaku-ngaku kalau Riki itu anak kalian? Hah? Jawab!" tekan Jake.

Heeseung menggeleng, enggan memberikan jawaban. "Ceritanya panjang, nanti saja. Gue mau lihat Rei sama Riki dulu," tolak Heeseung.

Jake lagi-lagi menahan pergelangan tangan pria yang lebih tinggi darinya, namun lebih lemah. "Jangan banyak alasan, jawab dulu pertanyaan gue!" paksa Jake.

Heeseung menyentak tangan Jake sekuat yang ia bisa, dan berhasil. Menatap sinis pria yang menatapnya menantang.

"Oke, intinya saja, ya. Rei amnesia, gue yang bawa pulang dia dari Berlin dua hari lalu. Soal kebohongan tadi, gatau, mulut gue lebih cepat dari otak!" jawab Heeseung, asal.

"Tunggu, amnesia? Maksudnya, hilang ingatan gitu?" kaget Jake, baru sadar kalimat yang diucapkan Heeseung.

Si pria Lee mengangguk saja.

"Dan apa lo bilang tadi? Bawa pulang dari Berlin? Maksudnya gimana?" tanya Jake, pria itu ingin penjelasan lebih lengkap.

Oleh karena itu, Heeseung mulai menjelaskan semua kejadian dari awal sampai akhir, dengan kalimat amburadul dan terburu-buru. Untunglah, Jake bukan pertama kali menghadapi manusia gila seperti Heeseung, mudah baginya untuk mengerti.

Kilometer 40++ [S2 DTN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang