TUJUH

51 8 26
                                    

Los Angeles di luar sana tidak begitu ramai untuk menutupi riuh yang tercipta di hati dan kepala pria yang panggilan teleponnya barus diputus pihak penerima.

Si Tuan Muda termenung cukup lama, tetapi kepalanya terus saja mengulang kalimat-kalimat yang sama selama lebih dari sepuluh menit.

"... Rei kecelakaan tiga minggu lalu, dan sekarang dia kehilangan seluruh ingatannya!"

"Bersama Heeseung 10 tahun, diselingkuhi dua kali, putri saya masih baik-baik saja. Tetapi dengan Anda, baru tiga tahun, tetapi sekarang dia melupakan segalanya! Sialan! Dasar keparat! Saya menyesal mempercayai orang seperti Anda!"

"Jika masih punya malu, jangan pernah temui putri saya."

Ponsel yang baru saja diserahkan dua jam lalu itu dibanting dengan keras ke sudut kamar rawat yang tengah dirinya tempati.

Suara benturan benda itu mengejutkan pria yang lebih tua, sang Ayah yang baru saja keluar dari kamar mandi. Menatap terkejut putra semata wayangnya yang tampak sangat emosi.

Jangan lupakan seprei dan selimut dari ranjang khas rumah sakit di bawah tubuh pria itu kusut, akibat diremas demi menyalurkan gejolak emosi yang ada.

"Ayah baru membelinya kemarin sore, Nak. Dua setengah jam lalu, Ayah juga baru memberikannya padamu. Sekarang handphone itu sudah kau lempar begitu saja? Ada apa Tuan Muda-ku?" tanya sang Ayah, kelewat tenang.

Pria yang lebih tua mendekat, berdiri di sebelah ranjang tempat putranya berbaring dengan penampilan yang kusut, tubuh menjulangnya menutupi jendela yang tengah menyuguhkan pemandangan matahari terbit.

"Aku sudah meminta Ayah membelikan ponsel baru sejak aku bangun dari pingsan setelah kejadian. Tapi Ayah terus saja menolak, menjadikan fokus penyembuhanku sebagai alasan. Sekarang Ayah ingin tahu apa yang baru saja terjadi? Kenapa aku melempar ponsel itu?" Nada bicara si Tuan Muda kentara dibuat setenang mungkin, tidak ingin membentak, tidak juga ingin berteriak.

Tenang dan penuh penekanan. Aura dominan yang didapatkan secara turun-temurun tanpa perlu belajar bertahun-tahun.

"Sejak memegang ponsel, aku berusaha menghubungi Rei namun tidak bisa. Barusan, aku berhasil menghubungi Nyonya Na, tapi apa yang kudapat? Kabar buruk, yang menjadi nasib buruk juga untukku!"

Si Tuan Muda mendudukkan dirinya, menatap marah salah satu kaki yang sampai saat ini masih saja tidak berguna.

"Penyakit sialan!" hardiknya.

Sang Ayah di sebelah mengernyit bingung, tetapi memilih tetap diam. Dia akan mendengarkan dan memerhatikan sampai habis dulu keluh kesah putranya itu.

"Rei ada di Jakarta, baru saja bertemu Ibunya, diantar Heeseung." Perkataan si Tuan Muda berhasil membuat Ayahnya membelalakkan mata, saking terkejutnya.

Tidak menemukan tanda-tanda anaknya akan kembali bicara. Tuan Besar yang sebentar lagi harus meninggalkan ruang rawat tersebut untuk sebuah rapat menghela nafas panjang.

Tidak tahu harus melakukan hal apa sebagai upaya pertama. Tuan Besar akhirnya memilih memeluk tubuh layu anaknya, mencoba menenangkan.

"Maaf jika apa yang Ayah lakukan ternyata berakibat salah. Tapi Nak, Ayah tidak berniat buruk. Ini demi kesembuhanmu sendiri, jika Ayah segera mengganti ponselmu yang rusak setelah kecelakaan yang menimpamu, Ayah takut kamu tidak fokus pada kesehatanmu. Mementingkan, dan mengupayakan apapun untuk perempuan yang kau cintai, lalu mengabaikan tubuhmu sendiri, ok?"

"Ayah bukan tidak setuju, toh, dari awal, Ayahlah yang membuat perjanjian untuk perjodohan kalian. Ayah senang kau punya kesempatan ini, tapi.." Tuan Besar tidak lagi bicara.

Kilometer 40++ [S2 DTN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang