Lima

3.1K 280 0
                                    

Aku menatapnya datar. "Justin? Siapa justin? Aku rafi, bukan justin." Pria itu melambaikan tangannya di hadapanku. Aku mengedip beberapa kali, mencoba sadar, dia bukan justin.

Aku berdehem pelan. "Maafkan aku, rafi." Aku tersenyum kikuk. Rafi masih mengerutkan keningnya.

"Kau ini kenapa gea?" sekarang, gea yang mengerutkan keningnya.

"Bagaimana kau mengetahui namaku?"

"Rumah kita bersebelahan. Nenekmu bilang, dia kedatangan tamu dari Canada. Rupanya itu kau."

"Ah...ya. Ya benar." aku masih tak percaya pria yang ada dihadapanku. Dia, dia mirip dengan justin. Hanya saja wajahnya sedikit lebih asia.

"Kau baik-baik saja? Tingkahmu sungguh aneh." aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tak gatal. Mencoba untuk tetap santai.

"Maafkan aku. Aku tak apa-apa."

"Jadi, kita bisa berteman bukan?" tanyanya pasti. Aku mengangguk cepat.

"Tentu saja." mencoba tersenyum dihadapannya. "Kau jurusan apa?"

"Sipil." aku mengangguk-angguk. "Aku lebih tua satu tahun darimu."

--

Pukul tiga sore. Aku langsung melangkahkan kakiku keluar kelas, tak lupa mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman baruku.

Tiba-tiba seseorang memegang bahuku dari belakang. "Pulanglah bersamaku." aku segera menengok.

"Rafi?"

"Ya? Ayo, aku antar pulang. Rumah kita bersebelahan."

"Astaga kita baru saja kenal."

Rafi mendengus kesal. "Memangnya kenapa? Kau tak mempercayaiku?"

"Bukan. Bukan begitu. Hanya saja, sedikit aneh."

Aku dan rafi langsung menuju parkiran. Parkiran......motor.

"Rafi." ucapku pelan.

"Ya?" Rafi langsung menatapku dari samping.

"Bukannya aku tak mau. Lebih baik aku menggunakan angkutan umum. Tak apa-apa?" Ucapku ragu, tak berani menatap rafi. Hanya menatap kumpulan motor yang sedang terparkir.

"Memangnya kenapa? Kau harus menggunakan mobil?" tanya rafi serius.

Aku menggeleng cepat. "Bukan itu. Aku naik angkutan umum saja. Ya?" sekarang aku berani untuk menatap mata itu. Mata nya berwarna hitam pekat. Ayolah gea, dia bukan justin, dia berbeda dari justin. Hanya wajahnya sekilas mirip. Dia rafi.

"Kau menolakku?" tanya rafi sedikit khawatir. Astaga. 'Rafi aku takut dengan moto! Kejadian itu membuatku membenci motor!' batinku.

"Bu-bukan. Kumohon, aku tak ingin menaiki motor."

"Apa ada sesuatu?"

"Aku tak bisa menceritakannya kepadamu saat ini." suaraku mulai parau. Mengalihkan pandanganku darinya. Rafi memegang kedua bahuku, tanda menyuruhku untuk menghadap tepat di depannya.

"Kau kenapa? Kenapa berkaca-kaca?" Dia ini benar-benar membuatku kesal. Kejadian itu terus mengiang di otakku. Berusaha untuk melupakannya, tapi rafi selalu membuat kejadian itu datang lagi.

Aku langsung menepis kedua tangannya kesal. "Jangan ikut campur. Sudah ku bilang aku ingin naik angkutan umum." aku langsung pergi melangkahkan kakiku ke arah angkutan umum. Meninggalkan rafi sendiri yang mematung, bingung akan kelakuanku ini.

--

"Nek, rafi itu tetangga kita?"

"Kau sudah mengenalnya? Rumahnya di samping kiri kita. Aku menceritakan dia tentangmu."

"Dia menghampiriku di kantin. Dia mengajakku pulang bersama tapi aku tolak. Dia menggunakan motor."

"Astaga, kau belum bisa melupakan justin?" nenek menatapku cepat.

"Cukup sulit." jawabku singkat dan malas. Aku langsung merebahkan tubuhku di sofa dan menekan tombol on pada remote TV.

Nenek menghampiriku dan duduk tepat disamping kananku. "Rafi, pria yang tampan bukan?"

"Dia mirip dengan justin."

--

Hari ini adalah hari kedua aku menuju kampus.

"Nek aku berangkat!"

Aku langsung berlari keluar rumah, sebentar lagi kelas masuk, aku tak boleh terlambat. Berjalan cepat menuju tempat angkutan umum yang berjarak 200m dari rumah.

"Gea! Bareng yu!" aku menoleh ke arah kanan, lebih tepatnya ke rumah rafi. Dia lagi. "Aku menggunakan mobil. Kau tak akan bisa menolakku kali ini."

Rafi menghampiriku sedikit berlari. "Tak usah. Aku tak mau merepotkanmu."

"Kau merepotkanku jika kau menolakku." aku memutar bola mataku.

"Kau ini keras kepala. Baiklah." Rafi tersenyum lebar dan langsung memegang lenganku mengajaknya masuk ke dalam mobil.

Aku dan rafi telah berada di dalam mobil. Rafi langsung menancapkan gas nya. Tahu aku buru-buru karena bentar lagi kelas akan masuk.

"Ada apa dengan motor?" Rafi berusaha mencairkan suasana. Tidak, dia tak sama sekali mencairkan.

"Jangan membahas itu!" aku sedikit membentak. Sensitif akan kejadian itu. Tak mudah untuk melupakan semuanya. Rafi langsung terdiam. Tak berani berbicara. "Ma-maafkan aku."

Rafi menatapku dengan senyuman yang tipis. "Tak apa, kau bisa menceritakannya kepadaku jika mau."

Dia memang baik, sangat baik. Tapi dia belum bisa menggantikan justin, tak akan pernah.

Dear JustinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang