Delapan

2.8K 240 0
                                    

"Jadi, apa yang akan kau ceritakan? Masalah kampus?" Aku menggeleng pelan.

"Tentang motor dan laki-laki yang berada di dompetku."

"Berhubungan?" aku mengangguk pasti. "Baiklah, aku akan mendengar ceritamu."

"Di-dia pacarku. Dulu. Mungkin. Aku tak tahu pasti kita itu sekarang apa. Suatu hari dia mengajakku untuk ke taman, malam. Aku menunggunya lumayan lama dan tiba-tiba seseorang meneleponku, momnya. Dia bilang justin kecelakaan. Aku langsung beranjak ke rumah sakit dan ternyata justin kecelakaan karena dia tertabrak mobil, menyetir dengan kecepatan tinggi karena khawatir akan keadaanku yang menunggu dengan keadaan kedinginan. Dia menyetir menggunakan motor. Semenjak itu aku tak mau menaiki motor karena selalu ingat akan kejadian pahit itu. Padahal aku sama sekali tak menyuruhnya untuk buru-buru. Aku akan selalu menunggu dia." Mataku mulai berkaca-kaca. Aku harap rafi tak melihatnya. "Menunggu dalam waktu seminggu itu bukan waktu yang sebentar. Setiap hari berkunjung kesana. Dan saat dia membuka mata, blank. Dia sama sekali tak mengingatku, dia hanya mengingat keluarga dan sahabat kecilnya, victoria. Dan sekarang, mungkin victoria dan justin telah memiliki hubungan yang sangat istimewa sepertiku dulu saat bersama justin." suaraku mulai parau. Aku benar-benar lemah.

"Apa itu alasan kau pindah ke Bandung?"

"Tepat." kudengar rafi menghela napas pelan. Aku tak berani menatapnya, aku hanya memandang lurus. Rafi menatapku dari samping. Diam. Hening.

"Foto itu, justin?" aku mengangguk pelan. Tiba-tiba rafi memelukku dari arah samping. Aku menutup nata cepat, tenggorokanku mulai sakit, dan akhirnya air mata ini jatuh kembali tepat ke lengan rafi yang tengah memelukku. Menangis dengan isakan pelan membuat rafi terus mendekap. Akhirnya kubalas pelukan itu dengan menghadap langsung ke rafi, tepatnya ke dada bidangnya. "Menangislah. Itu akan membuatmu tenang."

"Hanya tenang sesaat." aku berusaha berbicara dengan suara yang benar-benar, aneh.

"Jangan melupakannya. Semakin kau melupakannya, semakin dia hadir dalam hidupmu. Simpan dia di dalam hatimu sebagai kenangan yang paling indah. Kau harus membuka lembaran barumu."

RAFI's

Kenapa wanita cantik seperti dia memiliki masalah cinta yang benar-benar rumit? Apa aku bisa membantu dia untuk melupakan masa lalunya?

Aku tak tahu apa rasanya menjadi gea, pasti itu sangatlah sakit. Memiliki pacar yang tiba-tiba melupakan kita. Itu benar-benar mimpi yang sangat buruk.

"Jangan melupakannya. Semakin kau melupakannya, semakin dia hadir dalam hidupmu. Simpan dia di dalam hatimu sebagai kenangan yang paling indah. Kau harus membuka lembaran barumu." aku mengelus rambutnya pelan.

"Aku benar-benar tak yakin." gea menggeleng pelan di dekapanku.

"Sudah, jangan memikirkannya terus. Lebih baik kita makan siang di luar. Aku yang traktir." aku melepas pelukan gea pelan. Menatap mata sembab gea dan muka serta hidungnya yang benar-benar merah. Wajah putih itu tertutup oleh tangisan bodoh. "Jangan menangis. Aku tak suka melihat sahabatku menangis." aku berusaha menghapus air matanya dengan kedua ibu jariku.

"Terimakasih selalu ada. Aku sangat menyayangimu." senyumnya terurai kembali di bibirnya. Senyuman hangat yang membuatku tenang, tak tahu kenapa.

"Jangan segan-segan untuk menceritakan hal-hal yang kau ingin ceritakan. Kau sudah mempercayaiku kan?"

"Kurasa." gea terkekeh. Aku membulatkan mataku dan tertawa pelan sambil mengacak-ngacak rambutnya.

"Ayo!" aku langsung menarik lengannya mengajak dia makan siang di luar.

"Kita mau makan dimana?" aku tak menjawab dan mengantar dia memasuki mobilku. Aku segera menuju sebrang untuk duduk di kursi supir.

"Rafi, jawab pertanyaanku." katanya kesal.

"Jangan banyak berbicara, kau akan suka masakannya."

--

"Congo Cafe?" tanyanya bingung. Aku memasuki gerbang yang terlihat kuno.

"Hm."

Setelah mendapat parkir. Kami berdua turun dan masuk ke cafe nya. Mengambil tempat duduk, saling besebrangan.

GEA's

Banyaknya pajangan kayu-kayu jenis jati dan kayu lain berkualitas tinggi, mulai dari ukuran kecil hingga ukuran yang sangat besar membuatku benar-benar terpukau. Ditambah pemandangan yang cukup indah dari atas. Padahal ini masih siang.

"Ini sangat indah."

"Sudah ku bilang kau akan menyukainya." rafi tersenyum lebar. Senyumnya sangat mirip dengan justin. Astaga gea! Ayolah! Kau tak boleh memikirkan justin disaat seperti ini. "Kau harus mencoba singkong goreng." aku hanya mengangguk-angguk.

--

"Sudah kenyang?" tanya rafi terkekeh melihat piringku yang benar-benar bersih. Aku tersenyum malu.

"Sangat kenyang. Terimakasih ya."

"Jangan memerahkan pipimu. Kau ini bukan tomat." Aku langsung membulatkan mataku dan mencubit lengan rafi yang sedang menopangi dagunya. Rafi tertawa pelan memperlihatkan gigi putihnya yang rapi.

"Ayo kita pulang." rafi mengangguk dan memanggil pelayan untuk meminta bill.

--

"Perutku sudah penuh dan dompetku juga masih penuh. Terimakasih ya." ucapku sambil nyengir dan membuka pintu mobil karena kami telah sampai di rumahku.

"Jangan kapok aku ajak makan." aku tersenyum mengangguk dan melambaikan tangan kepada rafi. Aku langsung masuk ke rumah.

"Kau ini pergi tak bilang-bilang." Tante membukakan pintu dan senyum-senyum layaknya orang gila.

"Maafkan aku. Ini saja mendadak."

"Kau sudah melupakan justin?"

"Astaga, jangan membicarakan dia. Mood ku bisa-bisa turun ketika mendengar nama itu."

"Kau kan sudah mempunyai pengganti." aku mengerutkan kening bingung.

"Siapa?"

"Rafi." aku langsung membulatkan kedua mataku.

"Astaga dia hanya sahabatku. Justin tak akan pernah tergantikan oleh siapapun!"

--

Apa aku harus memikirkan orang yang tak memikirkan aku? Bahkan bukan memikirkan, mengingat saja tidak. Kadang, aku hanya ingin kembali ke masa dimana segala sesuatunya tak serumit ini. Tapi aku yakin, Tuhan tak akan mungkin mengambil tanpa mengembalikan yang lebih indah.

Dear JustinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang