Dua Puluh Tujuh

2.2K 222 0
                                    

Fanny tersenyum lebar. "Kita mengadakan pesta taman. Kita kan merindukanmu."

Aku mengangguk dengan senyum mengembang. "Ohiya! Oleh-oleh kalian ada di koper. Aku akan mengambilnya dulu."

--

Hanya nenek, tante, rafi, fanny, dan aku yang mengadakan pesta taman. Aku melangkahkah kaki menuju ayunan. Melamun sambil memakan sate yang tadi dibakar. Tak lama, fanny dan rafi menghampiriku. Mereka duduk di sebrang. Masih di ayunan yang sama.

"Kau hutang cerita padaku." kata rafi kepadaku langsung. Aku memutarkan bola mataku.

"Seberapa penasaran?"

"Cepatlah. Aku dan fanny tak sabar mendengarkan ceritamu."

Aku pun menceritakan semua yang terjadi di Canada, mulai dari melihat justin di bandara, victoria pergi, aku menghibur justin, semuanya aku ceritakan tanpa ada yang kelewat, bahkan saat aku akan pulangpun aku ceritakan. Tidak, aku tak menangis untuk saat ini, hanya senyun yang terus menghiasi wajahku.

Fanny dan rafi serius mendengarkan ceritaku. Mereka memang pendengar yang sangat baik dan aku mempercayai mereka sepenuhnya.

"Jadi, tak ada kata sedih lagi kan di dirimu?" tanya fanny.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Mungkin. Semoga saja dia benar-benar menungguku disana."

--

Pukul sebelas malam rafi dan fanny baru pulang dari rumahku. Aku langsung mengganti baju menggunakan baju tidur dan berbaring di kasur. Tak lama handphone berbunyi tanda telepon masuk. 'Justin' senyumku mengembang lagi dan dengan cepat kuangkat.

"Justin." sapaku pelan.

"Disini siang. Disana pasti sudah malam. Kau belum tidur?"

"Aku baru mau tidur. Tadi nenek, tante, rafi, fanny, dan aku mengadakan pesta taman di belakang. "

Aku memang menceritakan fanny dan rafi kepada justin saat di Canada, tapi aku tak memberi tahu bahwa rafi dulu adalah pacarku. Dan aku tak mau mengingat kejadian itu, aku akan tetap menganggap rafi adalah sahabatku. Tak lebih.

"Aku merindukanmu." katanya pelan. Dia ini benar-benar manja.

"Apa kau akan menungguku?"

"Ya. Selalu." aku menghela napas sedikit lega. Aku harus mempercayai dia.

"Aku akan segera kembali. Doakan aku cepat lulus."

--

Tiga bulan sudah aku menghabiskan waktu di Indonesia. Mungkin aku akan lulus tahun depan. Aku sedang menyelesaikan skripsi dan akan menunggu sidang serta wisuda.

Tentu saja aku berkomunikasi dengan justin setiap hari. Hariku semakin indah, tak ada kata menangis dan sedih lagi pada diriku. Aku benar-benar menikmati masa-masa ini. Masa yang sama sebelum justin mengalami kecelakaan.

Hari ini hari minggu, aku memutuskan mengerjakan skripsiku di kamar. Dengan bantal yang aku senderkan di kepala kasur.

Satu jam. Dua jam. Aku memutuskan untuk tidur siang dahulu. Benar-benar lelah.

--

"Gea. Gea." seseorang memanggilku, aku berusaha untuk membuka mataku yang masih sangat berat, benar-benar menganggu.

Penglihatanku masih sedikit buram. "Rafi jangan menggangguku. Aku masih lelah!"

"Rafi? Hey ini aku justin!" Aku langsung membuka mataku lebar, terkejut. Benar, dia justin! Astaga! Aku tak sedang mimpi kan. Aku langsung beranjak duduk di pinggir kasur, justin pun ikut duduk di pinggir kasur tepat di sebelahku.

"Justin? Ini benar kau?" aku masih menatapnya bingung tak percaya. Justin menyentuh kepalaku pelan.

"Ini aku, justin drew bieber. Memangnya kau kira siapa?"

"Ke-kenapa bisa?"

"Apasih yang aku tak bisa. Jangan banyak bertanya. Aku ini merindukanmu."

Dia menarikku dalam pelukannya. Aku masih bingung tak percaya. Ini benar-benar seperti mimpi. Kenapa dia tak memberi tahuku? Ada apa dia kemari? Astaga.

Dear JustinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang