Aku segera menuju rumah perempuan itu—gea. Mom mengantarku. Rumahnya tak begitu jauh dari rumahku. Setelah sampai, aku dan mom langsung turun menuju pintu depan rumah gea.
Seorang ibu paruh baya membuka pintu. "Sandy! Aku merindukanmu!" mom langsung memeluk wanita itu.
"Pattie!" Wanita itu membalas pelukan mom. Aku sama sekali tak mengingat wanita yang ada di depanku. "Aku mom nya gea. Kau biasa memanggilku mom." Katanya sambil melepas pelukan mom dan menatapku.
Aku hanya tersenyum. Apa aku benar-benar harus memanggilnya mom sandy? Astaga baiklah! Mom sandy mengajakku dan mom untuk masuk ke rumah yang lumayan besar.
"Kau tinggal sendiri?" Tanyaku hati-hati.
"Suamiku bekerja dengan jeremy. Jadi jarang pulang. Aku sendiri semenjak gea pindah ke Indonesia. Ya walaupun terkadang kakak ataupun adikku datang mengunjungiku." Ucapnya panjang lebar. Aku hanya mengangguk pelan-pelan.
"Justin ingin datang kesini. Jadi aku mengantarnya." ucap mom.
"Justin telah mengingat gea?" tanya mom sandy ke mom.
"Bantu aku mengingatnya." ucapku langsung. Aku harus mengingatnya. Nama gea memang sedikit tak asing bagiku tetapi kenapa wajahnya begitu asing. Aku akan terus memikirkannya apabila masalah ini belum selesai.
Mom sandy mengerutkan keningnya bingung. "Bagaimana caranya?"
GEA's
Aku dan rafi mengantar fanny dulu pulang. Rumahnya di daerah Cihampelas. Tak mungkin aku dan rafi menyuruhnya untuk pulang sendiri.
"Terimakasih telah mengantarku rafi." ucapnya sambil membuka pintu mobil. "Gea aku duluan ya. Kalian berdua hati-hati." aku dan rafi mengangguk tersenyum.
Jalan lumayan macet. Setengah jam waktu yang kami habiskan dari Cihampelas menuju Dago—rumah kami.
"Rafi, ayo masuk."
"Lain kali saja. Aku yakin kau bosan jika aku mengunjungi rumahmu terus."
"Ya memang sih." kataku terkekeh. Rafi langsung mencubit pipiku. Astaga, dia ini kasar sekali, cubitannya sangat sakit. Aku menepis dengan memukul lengannya. "Kau ini tega sekali!"
Rafi hanya tertawa keras. "Keluarlah. Aku bosan melihat wajahmu."
Aku langsung memeletkan lidahku dan segera keluar dari mobil. Aku langsung masuk ke dalam menuju kamar. Berdiam dulu dengan berbaring sambil memainkan handphone. Baik, aku tak sedang berdiam.
Tak lama, seseorang menelponku. Kulihat nama kontaknya. Mom pattie. Aku tersenyum lalu mengangkatnya. Tak sabar mendengar kabar justin. Walaupun justin bersama victoria, mendengar dia baik-baik saja sudah membuatku senang.
"Mom? Bagaimana kabar justin?" Tanyaku langsung.
"Gea? Apa ini gea?" aku langsung terdiam. Tak bergeming sama sekali. Benar-benar membeku. Suara ini, suara yang aku rindukan. Suara yang hampir dua tahun tak aku dengar. Aku benar-benar merindukannya. Air mataku langsung jatuh. "Halo? You there?"
"Justin?" sapaku pelan dengan suara yang mulai parau karena menahan nangis.
"Ya. Ini aku justin. Apa kau gea?" Dia. Dia. Apa dia mengingatku? Semakin sulit untuk menahan tangisan. Mataku mulai berkaca-kaca.
"Y-ya. Aku gea. Kau mengingatku?" ucapku pelan.
"Tidak." jawabnya cepat. Aku terdiam. Kenapa dia meneleponku? "Aku sedang berada di rumahmu. Mom mu dan mom ku menceritakan tentangmu tapi aku merasa asing dengan wajahmu." Asing. Aku sangat asing. Aku menemaninya selama dua tahun. Aku sangat asing. Aku selalu berada di sisinya. Aku sangat asing. Bagaimana wajah dia sekarang? Dua tahun aku tak berjumpa.
Air mata ini terus mengalir. Berusaha untuk tak terisak. Namun sepertinya gagal. "Kau menangis?" tanyanya bingung. Aku berusaha untuk mengambil napas dalam-dalam. "Kau menangis karenaku?"
"Aku merindukanmu." ucapku pelan. Berusaha untuk tak terdengar menangis.
"Tapi aku tak tahu siapa dirimu." ucapnya cepat. Astaga apa dia tak memiliki hati? Perkataannya begitu tajam.
"Tak usah mengingatku. Aku bukan siapa-siapa." kuakhiri teleponnya. Aku masih ingin berbincang dan mendengar suara baritone nya. Tapi aku tak mau jika membicarakan hal seperti ini. Dia yang mengintrogasiku sedangkan aku disini yang merindukanmu, kau lupakan.
Tak lama telepon itu berbunyi lagi. Dengan nama kontak yang sama—Mom Pattie. Aku memutuskan untuk mengangkatnya lagi, walau sangat malas. Bodoh.
"Kenapa kau mengakhirinya begitu saja?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
"Sudah ku bilang jangan mengingatku."
"Aku menyimpan foto kita berdua di laci kamarku. Foto kita sangat banyak. Apa kau benar pacarku? Maksudku, mantan pacarku?"
Mantan! Semenjak kapan kita putus? Kita putus tanpa ada perkataan putus yang kita ucapkan. Apa aku ini memang mantan justin? Apa aku tak bisa berhubungan lagi dengannya sebagai pacar?
"Kau bisa tanya itu ke momku atau mom pattie. Aku malas untuk membicarakannya. Aku ada urusan penting." aku mengakhiri teleponnya untuk kedua kali. Memang, pacar justin itu sekarang victoria. Tapi apa dia tak bisa menjaga hatiku yang benar-benar sakit? Dua tahun tak berjumpa itu bukan waktu yang sangat sebentar.
--
Aku memutuskan pergi ke rumah rafi.
"Nek, aku ke rumah rafi dulu ya sebentar." nenek hanya mengangguk. Aku langsung menuju luar rumah. Aku mengetuk pintunya. Ternyata yang membuka pintu pembantu rumah rafi.
"Dia diatas sedang tidur." aku langsung menuju kamarnya. Membuka pintunya perlahan. Dia masih tidur. Aku menghampirinya tanpa ada suara hentakan kaki. Terdiam berdiri, mematung. Kenapa dia sangat mirip dengan justin? Ayolah gea, dia berbeda!
Aku menatap setiap lekuk wajahnya. Dia memang tampan. Aku menyesal telah menolaknya. Tapi hatiku tak cocok dengannya. Tiba-tiba rafi langsung membuka matanya lebar dan mengagetkanku.
"WAAAA!"
Aku membulatkan mataku dan berteriak kencang sambil memukul dan mencubit nya sekuat tenaga. "AAAAAAA!!!!!"
Rafi meringis sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau memandangiku? Aku tampan ya?" aku yang masih memukul dan mencubitnya hanya memutar bola mata. "Kau terpesona denganku?"
Aku memukulnya pahanya sekali lagi dengan cukup keras. "Kau ini jahil sekali! Jangan terlalu percaya diri, aku tak memandangimu dan aku tak terpesona denganmu! Kau itu jelek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Justin
FanficDear justin, tetaplah bersamaku. Tetaplah berada disisiku. Denganmu, aku memiliki alasan hidup, bahagia bersamamu adalah hal yang paling aku syukuri. Terima kasih telah membuat hidupku lebih berarti dari sebelumnya. Kau adalah pria favoritku, kau ta...