"Dia melihat foto saat kalian berdua. Dia sedang membereskan kamarnya."
"Benarkah mom? Lalu dia ingat?"
"Dia bertanya padaku siapa perempuan itu. Tidak, dia sama sekali tak mengingatnya."
JUSTIN's
Aku mengobrak-abrik meja belajar. Mungkin akan sedikit indah jika dibersihkan di rapikan. Aku membuka laci dan......
Banyak sekali foto di dalam laci meja belajarku. Aku melihatnya satu persatu. Ini fotoku? Dengan seorang perempuan? Siapa dia? Apa dia victoria. Aku memicingkan mata dan terus menyelidiki lekuk wajah dari perempuan yang bersamaku di foto-foto itu. Deg. Kepalaku pusing. Astaga, ada apa ini?
"MOOOMMMMM!" Aku berteriak memanggil mom. Dengan cepat mom telah berada disisiku.
"Ada apa justin? Jangan membuatku panik!"
"Ini siapa?" aku menyodorkan foto-foto ini kepada mom. Mom terpaku, diam. Dengan seksama melihat foto-foto satu persatu. "Dia bukan victoria?"
"Dia gea. Kau mengingatnya?" aku mengerutkan kening.
"Gea? Siapa dia?" Mom menghela napas berat. Menatapku serius.
"Dia yang telah membuatmu bahagia selama dua tahun terakhir. Kau akan menemuinya sebelum kecelakaan." sebelum kecelakaan? Menemuinya? Apa dia sangat berarti dalam hidupku? Astaga, ini pasti ada yang tak beres. "Kau mengingatnya?"
Aku menggeleng pelan. Berusaha mengingat tapi selalu saja kepala ini sakit.
"Jangan terlalu dipikirkan."
"Apa dia pacarku? Tapi pacarku hanya victoria. Tak ada lagi."
GEA's
Secercah kebahagiaan menggerogoti hatiku. Justin melihat foto-fotoku saat bersamanya. Tapi dia sama sekali tak mengingatnya. Hubunganku dengan justin memang sudah kandas, sangat sulit untuk diperbaiki. Dia telah bahagia bersama sahabat kecilnya dan aku tak boleh menjadi perusak.
Setidaknya dia melihat wajahku di foto itu. Berharap seiring berjalannya waktu. Dia akan mengingatnya. Walau aku tak tahu itu kapan.
"Terimakasih telah memberitahuku mom."
"Kapan kau kembali? Aku sangat merindukanmu."
Aku menghela napas dan tersenyum tipis walau mom pattie tak akan melihatnya. "Tak tahu. Aku akan memberitahumu jika kembali."
"Kau telah menemukan pengganti justin?"
Aku terdiam. Belum. Mungkin tak akan pernah. Justin tak bisa digantikan oleh siapapun. "Belum."
--
Empat bulan sudah aku berada di Bandung. Hubunganku dengan rafi dan fanny sangat baik. Semakin kesini, kami selalu bermain bersama. Sungguh, fanny itu memang orang yang sangat baik dan cantik. Rafi terlalu memilih sehingga dia tak bisa membuka hatinya sedikitpun untuk fanny. Padahal mereka akan menjadi pasangan yang serasi jika bersatu.
"Apa kau ada waktu?" rafi meneleponku. Kuliah libur satu bulan dan aku memang sangat bosan tak memiliki kegiatan lain.
"Ada. Memangnya kenapa?"
"Nonton yu, di bioskop." Ajaknya.
"Tentu. Jangan menggunakan motor."
Aku langsung bersiap-siap. Segera turun ke bawah pamit kepada nenek. "Nek, aku pamit ya mau main sama rafi." aku mengecup kedua pipinya.
"Baiklah. Jangan pulang terlalu malam."
Aku mengangguk dan berbalik, berjalan santai keluar rumah menuju rumah rafi. Rafi sedang memanaskan mobilnya.
"Cepat sekali. Kau tak sabar ingin meluangkan waktu denganku ya?" Rafi terkekeh. Aku memutar bola mataku.
"Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya bosan dirumah dan ingin melakukan kegiatan lain di luar."
"Alah. Ayo cepat masuk."
Aku dan rafi telah berada di dalam mobil. "Nonton apa?"tanyaku.
"The Hobbit yang ke tiga." aku hanya mengangguk tanda iya. Untung saja aku mengikuti filmnya dari pertama.
--
"Astaga film nya seru sekali. Tak menyesal aku menontonnya." ucapku sambil memakan popcorn yang memang belum habis dan berjalan meninggalkan ruang teater.
"Apalagi bersamaku. Pasti lebih seru. Betul bukan?"
Dia ini kenapa percaya diri sekali? Aku langsung menyikukan tangan tepat ke perutnya. Dia meringis sambil terkekeh.
"Kita mau makan dimana?" tanya rafi menatapku dari samping.
"Terserah. Dimanapun. Aku lapar."
Aku mengikuti rafi. Ternyata rafi memutuskan untuk makan sore-yang mungkin menuju malam di Sagoo. Restoran yang bernuansa 'jadul' ini membuatku nyaman untuk berada disini walaupun dalam jangka waktu yang lama.
Dua jam sudah aku dan rafi menghabiskan waktu untuk makan dan berbincang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan.
"Ayo pulang. Nenek bisa-bisa memarahimu jika kau mengantarku terlalu malam."
--
"Terimakasih banyak. Aku sangat berhutang banyak kepadamu." aku membuka pintu mobil tapi rafi menahan lenganku. Aku berbalik menatap ke arahnya dan memiringkan kepala. "Ada apa?"
"Diamlah sebentar disini." aku menutup pintu kembali dan duduk seperti semula dengan menatap rafi dari samping yang sedang menatap lurus.
"Ada apa rafi?"
"Kau telah melupakan justin?" tanyanya hati-hati.
"Jangan membica-"
"Apa kau telah melupakan justin?" tanyanya sambil memotong pembicaraanku. Aku menutup mata sebentar, membuka kembali sambil menghela napas berat.
"Aku tak tahu." kataku malas. Malas membicarakan justin yang mungkin akan membuatku kembali terpuruk.
"Sepenting apa dia di hidupmu?"
Rafi menatapku serius, begitu juga aku. "Dia sangat penting."
Perlahan rafi mengangkat tangannya dan mengelus rambutku pelan. "Apa salah jika aku mencintaimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Justin
FanfictionDear justin, tetaplah bersamaku. Tetaplah berada disisiku. Denganmu, aku memiliki alasan hidup, bahagia bersamamu adalah hal yang paling aku syukuri. Terima kasih telah membuat hidupku lebih berarti dari sebelumnya. Kau adalah pria favoritku, kau ta...