Dua Puluh

2.2K 213 2
                                    

Sekarang, rafi adalah sahabatku. Dia akan terus menjadi sahabatku. Sekarang, rafi mulai belajar untuk mendekati fanny. Aku yakin fanny akan senang. Tak akan ada yang bisa menghalangi hubungan rafi dan fanny saat ini. Rafi telah memilih pasangan yang tepat.

Aku disini, tak tahu harus melakukan apa. Hanya bisa memikirkan justin lagi, selalu berharap dia akan kembali padaku. Tapi itu mustahil, dia tetap akan mencintai victoria, bukan gea.

Kuliah libur selama dua bulan. Minggu depan aku memutuskan untuk mengunjungi ke Canada, tepatnya ke mom. Aku benar-benar merindukannya.

Aku tak menghubungi mom, begitu juga dengan mom pattie.

--

Lima hari kemudian. Aku memulai packing barang-barang bawaanku. Hanya membawa seperlunya. Baju tak kubawa banyak karena di Canada masih ada. Aku lebih banyak membawakan oleh-oleh. Setelah beres setengahnya, aku memutuskan untuk pergi ke rumah rafi.

Ternyata rafi yang membuka pintu. "Hai!" aku memeluknya sekejap dan melepasnya lagi. "Sedang apa?"

Rafi langsung menarik lenganku untuk masuk ke dalam dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Aku hanya mengerutkan kening tak mengerti.

"Ada apa sih?" tanyaku penasaran. Aku mendapati seseorang sedang masak di dapur. Aku membulatkan mataku. "Fanny?!" fanny langsung menoleh dengan cepat kearahku. Aku berlari memeluknya, dia membalas pelukanku.

"Gea, kenapa kau tak bilang akan kesini? Untung saja aku memasak lebih."

"Astaga, aku merindukanmu. Aku tahu kau memasak lebih karena memiliki feeling yang kuat akan ada seseorang yang datang." kataku terkekeh. Saling melontarkan senyum satu sama lain, layaknya tak ada masalah yang pernah terjadi diantara mereka.

Rafi merangkul fanny. Aku mengerutkan kening dan menunjuk mereka bergantian. "Jangan bilang kalian......"

"Sekarang aku miliknya." kata rafi cepat sambil mengecup pipi fanny. Cemburu? Tentu saja tidak. Aku senang melihat mereka berdua dapat bersama. Senyumku mengembang.

"Kalian itu memang benar-benar cocok." kataku dengan nada yang sumringah.

"Makanan sudah siap. Ke ruang tv yu!" ajak fanny sambil membawa tiga makanan di nampan.

Aku dan rafi mengangguk dan mengikuti dari belakang. "Ehiya, apa aku mengganggu kalian?" tanyaku hati-hati sambil duduk di sofa ruang tv.

Rafi menoleh dan mengerutkan kening. "Mengganggu? Tentu saja tidak. Kau ini jangan bersikap seoertu baru mengenal aku dan fanny."

"Aku senang kau disini. Sekalian melepas rindu kan?" lanjut fanny.

"Aku ingin membicarakan sesuatu dengan kalian." sambil menyuapkan makananku sendiri. Rafi dan fanny mengangkat kedua alis sambil menatap. "Aku akan ke Canada lusa. Kalian mau ikut?"

"Canada?! Ngapain?!" tanya rafi dengan mulut yang penuh dengan makanannya.

"Bertemu dengan mon tentu saja. Aku sudah lama tak berjumpa dengannya."

"Dan justin?" tanya fanny penasaran.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Tak tahu. Aku lebih mengutamakan bertemu dengan mom. Kalian mau ikut? Ayo ikut, aku akan mengajak kalian ke banyak tempat yang keren disana!"

Fanny menghela napas berat. "Selasa ya? Maafkan aku. Aku sidang di kampus hari kamis. Aku tak mungkin meninggalkannya."

"Aku akan menemani fanny. Tak apa-apa?" tanya rafi.

Aku membulatkan mata ke arah fanny. "Sidang? Kenapa kau begitu cepat? Kau ini benar-benar ingin cepat lulus ya, astaga. Rafi! Jangan menjadi laki-laki yang memalukan, jangan terkalahkan oleh fanny, dia lebih pintar darimu."

Rafi mencubit pipiku keras. "Jangan berbicara seperti itu. Jurusan sipil itu tak mudah, aku juga akan lulus sebentar lagi." ucapnya percaya diri.

--

Nenek, tante, rafi, dan fanny mengantarku ke bandara Soekarno-Hatta. Aku memeluk mereka satu-satu.

"Hati-hati disana."
"Jaga dirimu baik-baik."
"Cepatlah pulang."
"Jangan lupa membawa oleh."
"Hubungi kami jika telah sampai."
"Telepon kami setiap hari."

Ocehan dari mulut mereka membuatku selalu tersenyum. Aku memeluk mereka satu-satu lalu pergi dengan satu koper besar di tangan kanan dan melambaikan tangan kiriku ke arahnya.

CANADA I'M COMING!

Dear JustinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang